"Aduh utunya. Ciapa namanya? Cantik banget," reflek tangan Cantika terentang, begitu pintu kamar dibuka.
Wajahnya berbinar menyambut apa yang ada di dalam.
Sarah mengajak Cantika ke sebuah rumah di pemukiman tengah kota Jogja daerah Kotagede, setelah bagasi mobil perempuan itu penuh oleh belanjaan buah tangan sang tamu. Rumah lama yang Jodi bangun kembali sejak menikahi Sarah. Tampak baru dan berkesan minimalis dengan cat dominan putih dan abu.
Langkah mereka terhenti di ruang berukuran sedang, dengan sesosok bayi berpipi gembul sedang ditunggui seorang babysitter yang masih amat muda. Gadis itu berpamitan. Beranjak ke dapur untuk membuatkan minum sang tamu.
"Anggi, Bude."
"Kok Bude sih, Sar? Tuak banget kesannya."
Sarah terbahak. Anak-anak Gamma saja, Cantika perintahkan memanggilnya Tante. Nanti juga, bayinya Rara tentu saja harus menggunakan sapaan sama. Bagi wanita berusia kepala 4 tersebut, panggilan Bude memang terdengar sekaligus terkesan semakin mengingatkannya pada umur yang tak lagi muda.
"Lah?"
"Tante Tika aja. Oke?"
"Bisa aja Mbak Tika." Sarah tersenyum saat mengambil Anggi dari bouncer. Meletakkannya tiba-tiba di tangan Cantika. Ia terkesiap, namun juga tidak ragu menerimanya. "Iya deh, iya. Tante Tika."
Tidak dipungkiri. Kerinduan Cantika akan buah hati sama seperti yang dirasakan pula oleh perempuan-perempuan lain. Rasa hangat langsung merasuk kalbu. Ingin rasanya memeluk. Enggan melepas jika depakan dadanya telah terisi oleh sosok mungil begini. Cantika menciumi habis-habisan wajah anak pertama Sarah dan Jodi.
Tangannya lihai menimang, meski gadis kecil itu tampak tenang di rengkuh peluknya.
"Lo lahiran normal?"
"Caesar. Di RS yang waktu itu kita ketemuan pertama kali, Mbak."
"RS. Gajah Mada?"
Sarah mengangguk pelan, sebelum menghela nafas panjang. Mendadak, ingatannya tentang pertemuan pertama dengan Cantika, kembali berputar di kepala. Jika dirinyalah yang menjadi pembongkar rahasia penyakit Cantika pada Pahlevi.
"Maaf soal— gue yang cerita sama Levi tentang sakit lo."
Cantika balas tersenyum. Mau marah-marah? Tidak ada gunanya. Semua terlanjur terlewat. Lagipula, Cantika tidak akan bisa murka kalau ada wajah tanpa dosa sedang menatapnya dari pangkuan.
"Iya. Nggak papa, Sarah. Gue udah berdamai kok sama keadaan gue. Cuman nggak mau ngerepotin keluarga, plus bikin panik satu rumah aja. Orang rumah cerewetnya minta ampun, Sar, kalau ada yang sakit, satu biji aja. Even just a common cold. Makanya, gue nggak bilang siapa-siapa."
"Alhamdulillah, Mbak Tika masih punya keluarga yang heboh kalau Mbak sakit. Gue aja, ada Anggi ini, keluarga belum ada yang nengokin."
Mata lentik Cantika membola.
"Serius? Neneknya?" Cantika membekap mulutnya sendiri. "Duh sorry. Kebiasaan mulut gue."
Sarah membalas senyuman. Walau siratannya tidak seriang tadi.
"Nggak papa lagi. Ini udah cerita lama banget. Kalau lo mau jadi calonnya Levi, lo berhak tahu juga. Levi malah yang banyak bantu gue sama Jodi." Sarah menyusap bahu Cantika. "Lo jangan cemburu ya, Mbak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik Saja
RomanceApakah kesempurnaan selalu jadi tolak ukur kesuksesan manusia? Tidak bagi Cantika. Seorang mantan finalis ratu sejagad, yang kesulitan menemukan pendamping di usia kelewat kepala empat. Petualangan cinta sebelumnya, tak bisa dijadikan acuan seseora...