"Tika ke dapur dulu ya, Ma?" Belum selesai Mama Hayati memprotes sikap anaknya, Cantika memotong. "Mau lihat dapurnya. Cantika harus yakinkan, kalau tamu kita nanti makan makanan higienis dan halal."
"Bisa bisa." Bu Salsa menginstruksikan pegawainya untuk bangkit dari lingkaran rapat. "Biar diantar Ambar. Agak jauh soalnya."
Tak hanya Ambar yang bangkit, Pahlevi pun turut bangun dari bangku.
Serasa de javu. Ia mengalami tahap ini dua kali.
Pertama, di pernikahannya sendiri. Kedua, hari ini, di bakal pernikahan sahabat yang secara tidak langsung menjadikannya calon pengantin bayangan. Mengatur ini dan itu semaunya tapi bukan untuk diri sendiri.
"Saya izin ikut, Tante. Mau dokumentasi sekalian."
"Silakan."
Dapur Hotel Clarkson yang khusus digunakan untuk acara berada tepat di belakang hall. Jauh dari area mereka mengadakan tes menu di restoran depan.
Ada tiga tempat memasak di lantai ini. Dapur yang dipergunakan untuk breakfast tamu bersebelahan dengan dapur yang digunakan untuk membuat hidangan acara khusus. Juga satu lagi di depan, yang menyiapkan pesanan para pelanggan restoran. Menurut pengakuan Ambar, terdapat beberapa dapur lagi di lantai atas khusus untuk hidangan room service dan makan malam.
Penjelasan Ambar hanya sekelebat lewat telinga Pahlevi. Masuk kuping kanan, keluar lewat kuping kiri. Ia tak butuh informasi tentang dapur. Berbeda dengan Cantika. Perempuan dewasa itu manggut-manggut. Khas seorang lawan bicara yang selalu terlihat antusias menyenangkan narasumber.
"Saya panggilkan chefnya dulu ya, Mbak. Sebenarnya tim nanti memasaknya di dapur yang tadi. Tapi karena sedang tidak ada acara, Mbak Tika bisa mengamati kegiatan memasak di sini."
Dentam gesekan alat masak baru terasa mendominasi setelah obrolan terhenti.
Orang-orang berbaju putih sibuk di posnya masing-masing. Bunyi irisan cepat pisau menghias rungu. Asap mengepul dari kompor. Api membumbung tinggi kala chef sedang menambahkan minyak pada bahan makanan yang entah terdiri dari apa saja. Chef mengetuk-ngetuk wajannya. Lantas, berganti desing minyak yang sedang dipertemukan dengan air. Aroma wangi makanan langsung mengusik penciuman.
Bibir berpulas merah bata itu ternganga tak bergerak. Tidak ada elegan-elegannya. Cantika takjub bak anak kecil melihat permainan badut. Ekspresi jujur yang belakangan Pahlevi baru sadar, akan muncul jika Ratu Tipu-tipu sedang sendirian.
Terlalu lama diam-diam memandang, ia sadar, matanya telah berbuat dosa. Pahlevi membuang jauh-jauh tatapan. Mengamati hal yang sama dengan yang Cantika lihat. Sekaligus, mengedar mencari Ambar yang lama sekali memanggil pimpinan dapur.
"Jadi Rais itu beneran pacar lo ya? Wow juga ya? Gue jadi punya temen anak pewaris hotel. Lumayan lah, bisa minta kamar gratis kalau touring luar kota."
Cantika tergugah dari konsentrasinya. Ia menoleh. Tertawa jengah. Tidak percaya niat pertemanan Pahlevi hanya ingin mencari keuntungan. Dasar manusia pamrih. Bersama Cantika pun, perempuan itu harus membayar mahal untuk sebuah penawaran.
Ia jadi bertanya-tanya. Mengapa tiga sahabatnya bisa betah menjalin hubungan bak saudara dengan si Bocah Bebal selama berpuluh tahun ini?
"Bukannya lo juga anak Pak Menteri? Bukan sesuatu yang bisa gue anggap wow sih. Lo bisa aja hang out sama anak presiden. Kalau lo mau."
Pahlevi tergelak.
"Lucu lucu."
"Nggak lucu. Bisa nggak sih ngobrolnya yang berbobot dikit?" Cantika menyilangkan tangan bersedekap. "Jadi, kapan gue bisa denger curcolan masalah lo? Biar janji gue juga lunas dan nggak jadi langganan ingkar sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik Saja
RomanceApakah kesempurnaan selalu jadi tolak ukur kesuksesan manusia? Tidak bagi Cantika. Seorang mantan finalis ratu sejagad, yang kesulitan menemukan pendamping di usia kelewat kepala empat. Petualangan cinta sebelumnya, tak bisa dijadikan acuan seseora...