32. Dulu dan Sekarang

4.2K 803 27
                                    

Menenteng sebuah tas jinjing mewah yang di dalamnya tersimpan tas belanja lipat, Cantika berjalan menuju lobi Maharaja Hotel. Semua pegawai tentu saja diharuskan menunduk, memberi hormat nyonya baru mereka. Ketidaknyamanan yang Cantika harus mulai adaptasi sesegera mungkin.

Menjadi pembaca berita saja, ia paling jengah khalayak menyebutnya orang terkenal. Lantas, sekarang orang satu gedung tidak ada yang boleh lupa nama dan jabatan yang melekat di kening Cantika.

Lobi dengan atap-atap tinggi, lampu gantung kristal yang amat besar, lantai berkarpet tebal sarat ornamen, juga interior lain yang khas hotel-hotel Eropa dominasi warna abu, hitam, putih, coklat, dan emas, menjadi pemandangan tiap hari baginya satu minggu ini.

"Pak Dirga sudah menunggu, Ibu. Mobil hitam yang plat 1241 S."

Resepsionis memberi arahan agar Cantika menaiki mobil yang telah ditunjuk. Salah satu mobil pribadi Rais. Mobil mini Cantika harus rela pensiun di garasi VIP Maharaja Hotel.

3 jam Cantika menghabiskan waktu berkeliling Maha Mall sendirian, membuatnya melupakan betis yang mulai pegal. Sudah biasa. Sejenak, ia bisa sedikit mengistirahatkan pikiran yang letih. Rais yang tadi ketar-ketir kalau Pahlevi akan bertemu Cantika di bawah, nyatanya hanya terkekeh. Kecemburuan terlalu menguasai. Info dari Pak Dirga bahwa nyonyanya saja masih di dalam restoran Sunda sendirian usai meminta Pak Dirga untuk datang dan mengangkut barang belanjaan.

Cantika mengakhiri acara belanjanya dengan makan hidangan Sunda di restoran yang menempati bagian tepi pinggir gedung. Ia bisa melihat megahnya hotel keluarga sang suami dari jendela kaca yang amat lebar. Di bawah, lalu lalang kendaraan amat ramai. Cantika menghitung manual jumlah lantai dari sana. Dimana tepatnya kantor Rais berada. Sedang apa pria itu, setelah menerima pesan singkatnya bahwa ia akan makan di Bumbu Parahyangan. Sendirian.

Cantika mulai melakukan kebiasaannya. Mengamati orang-orang lewat pun yang sekedar bercengkrama bersama keluarga di meja lain. Bagaimana kehidupan mereka? Persoalan hidup apa yang membuat mereka masih bisa tetap tersenyum? Mengapa ada yang duduk sendirian sepertinya? Apa ia juga memiliki masalah yang sama?

Tentang kesepian?
Tentang pengorbanan?
Tentang trauma dari masa lalu?

"Cantika?"

Cantika menoleh dan menemukan wanita paruh baya yang ia kenal. Tante Diana memancarkan wajah sumringah. Ternyata, niatnya mengumpulkan teman arisan jauh-jauh sampai restoran Maharaja Hotel tidak sia-sia. Meski tak kunjung menemukan Cantika di rumah megahnya, ini lebih baik. Mereka bertemu dengan cara rahasia Allah.

"Aduh, Cantikkk! Tante kangen kamuu."

Tante Didi memeluk Cantika. Perempuan idaman yang gagal dijadikan menantu. Kasih sayangnya takkan menguap walaupun kini cincin kawin melingkar indah di jari manis Cantika.

"Tante di Jakarta? Sendirian?"

"Sama Levi. Tadi dia mampir dulu beli parfum. Ntar nyusul."

Cantika mulai mengambil aba-aba pergi. Ia bangun dari bangkunya. Terlalu lama, sampai lupa jika hidangan di meja bahkan belum tersentuh. "Yaudah. Cantika duluan aja berarti, Tante."

Tante Didi menahan lengan Cantika. "Ini belum dimakan? Temenin Tante dulu."

"Tapi-"

Seolah tahu kegundahan hati Cantika yang akan bertemu anak sulungnya, Tante Didi menyimpulkan senyum sekaligus tangis dalam hati. Cantika menyukai Pahlevi. Sayangnya, takdir tidak berpihak pada keduanya.

"Kalau Levi macem-macem, tenang, ada Tante. Tante jewer anak itu."

Seutas senyum terbit dari Cantika. Ia kembali duduk dan menikmati debaran akan bertemu pria yang bahkan belum pudar posisinya dari lubuk hati.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang