15. TKP Kesepakatan

4.9K 971 23
                                    

"Gue mau tuker sama penawaran kemarin."

"Penawaran apa? Gue nggak pernah merasa ngasih penawaran."

"Gue mau lo menampung semua permasalahan hidup gue. Kasih ide penyelesaian yang baik. Maka segala permasalahan karir lo, pasti akan terselesaikan."

Cantika masih tercenung saat Pahlevi melanjutkan kalimatnya. Ia kaget bukan main. Maksudnya, ini, Cantika harus jadi pemecah semua problematika hidup Pahlevi? Bagaimana kalau masalah dia menyerempet tindakan asusila dan batas-batas kesopanan?

"Gue bukan tipe pemaksa. Jangan mikir macam-macam. Bersihin dulu kepala lo! Kalau lo nggak niat, cuma mau nuker sama berita, gue nggak akan ngotot. Tapi itu namanya lo se..ra..kah."

Cantika terbahak-bahak dalam hati. Ia bilang tidak akan memaksa. Tapi kata serakah itu menghujam jantung begitu nyeri.

"Gue punya salah apa sih sama lo, Lev? Kok kayak jadi dendam gini sama gue?" ucapnya pelan, tapi penuh penekanan tone di setiap suku kata.

Sebenarnya, Cantika benar ingin mengambil pemotong rumput dan memangkas rambut awut-awutan pria di depannya. Siapa tahu dari ukuran panjang rambut itu, menambah beban kepala si pria. Mengakibatkan energi yang seharusnya untuk berpikir jernih, beralih hanya untuk melebarkan rambut. 

Usia dia berapa? Sampai menyelesaikan masalah sendiri saja tidak bisa.

"Gue ikhlas kok bantuin lo. Gue harap pertukaran ini juga lo ikhlasin. Gue cuma mau bantu lo aja. Kayaknya lo desperate banget. Permasalahan hidup lo banyak, untuk orang sekecil dan sedewasa lo."

Tidak sekalian kata dewasa diganti dengan kata yang lebih tepat. Tua. Lagipula, mengapa Pahlevi memutarbalikkan fakta? Yang punya masalah berat kan dia. Bukan Cantika. Kecuali, ya, ketakutan akan berita tentang dirinya yang enggan terusik khalayak.

"Oke. Oke oke oke oke. Okeeee!!"

Cantika mengaku kalah dalam debat mulut kali ini. Oke-kan saja.

Pahlevi tersenyum penuh kemenangan. Dalam hati, Cantika ikut lega. Pria ribet itu kembali diam dan melanjutkan langkahnya ke depan. Belum ada sesaat berjalan, ia berhenti lagi dan berbalik. Seolah ada bahasan yang belum selesai.

"Anyway, kenapa lo mikir gue bakal ngajak lo pacaran sama nikah kemarin di Jogja? Lo kesepian? Butuh pasangan?"

Hampir saja Cantika membuka bom boba cabenya. Tangannya meremas gemas kemasan yang hanya dari plastik bening itu.

"Kok nyambungnya ke sana sih?"

Kok sepertinya Instalasi Forensik jauh sekali? Atau langkah mereka yang terlalu bertele-tele kali ini?

"Karena gue cuma butuh temen curhat. Sahabat atau adik. Mana ada gue nembak lo. Lo kayak hopeless banget sama kehidupan asmara."

Cantika sekali lagi menarik sudut bibirnya. Miris. Bukan lantaran Pahlevi tepat sekali menebak, tapi kenapa ia bisa bertemu orang yang tidak ada santun-santunnya mencerca berkali-kali dirinya? Parahnya lagi, ia sekarang terjebak di tengah-tengah.

"Ini bahas gue apa lo sih? Kalau ngomong bisa nggak mulutnya mikir dulu? Nyakitin tauk!"

"Kita. Kayanya kita sama-sama putus asa sama masalah kita sendiri. Gue kayak bercermin kalau lihat lo."

Pahlevi tertawa lepas. Ia kembali melangkah ringan.

"Nggak usah muter-muter deh. Ini deal nggak sih? Kalau sia-sia mending gue—"

Hampir saja Cantika berbalik, Pahlevi menyeletuk.

"Deal. Syarat-syaratnya harus lo penuhin!"

Ada sirat kebahagiaan di pasang mata pria putus asa yang hanya bisa dilihat dari teropong perbesaran 100 kali. Pahlevi sembunyikan baik-baik agar Cantika tidak merasa sedang dikerjai. Bocah itu bagai menemukan seorang pengasuh baru.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang