Sejauh-jauhnya Cantika mencari seseorang yang bisa dijadikan pendengar baik, ujung-ujungnya akan kembali lagi ke rumah. Orang tua adalah teman curhat pertama dan terbaik atas setiap masalah anaknya.
Segala keputusan yang diambil, banyak sedikitnya akan berpengaruh pada keduanya.
Seperti Mama Hayati, yang sekarang sedang menatap iba perempuan berambut panjang di sandaran sofanya. Ia meringkuk. Menyembunyikan kepala di atas kedua kaki.
"Kalau menurutmu ini yang terbaik, Mama nggak akan minta kamu kembali ke Rais. Tapi apa benar, Kakak udah pikirkan matang-matang? Jangan sampai menyesal."
Cantika mengangguk lemah. Otak dan hatinya sedang kusut. Ada belenggu yang seolah masih memenjara kebebasannya.
Mama Hayati juga terkejut luar biasa ketika Papa Miko mengangkat topik rumah tangga Cantika yang sedang goyah. Baru setelah Mama Hayati mengetuk pintu kamar anak perempuannya, beliau mendapat penjelasan lebih gamblang.
Rumah tangga bukan hanya tentang mempertahankan bara api cinta tetap menyala. Lebih besar dari itu. Perlu ada kesinkronan antar 2 prinsip yang senantiasa berbeda. Bernaung selaras dalam 1 atap. Iman.
Juga tentang ketenangan dan sukacita yang ingin diraih hingga ujung nyawa. Melalui badai dalam genggaman tangan erat bersama. Percuma, jika hanya kesakitan dan lelah tanpa jaminan surga menanti. Sudah surga dunia tidak mendapat, apalagi akhirat.
Cantika juga bukan tipe wanita yang lebih baik menangis di Rolls-Royce ketimbang mobilnya sendiri. Ia ingin menyelamatkan bahagianya.
"Mama sedih, Tik." Perempuan bertangan keriput itu mengusap puncak kepala Cantika. "Tapi Mama juga lega. Kamu udah mau cerita sama kami. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk anak-anak Mama. Mau dia udah bersuami atau belum. Mau udah punya anak atau belum. Jangan ditahan kalau ada beban yang kalian udah nggak kuat tanggung sendiri. Mama sama Papa akan selalu jadi orang tua kalian selamanya. Mama mau kamu senyum lagi, Cantika."
Cantika mendongak. Matanya berkaca. Kedua tangan kecilnya membalas pelukan Mama yang sejak tadi menghangatkan bahu dan punggung dengan usapan. Tempat ternyaman menghabiskan sisa air mata.
Di hari ketiga setelah gugatan cerai masuk Pengadilan Agama, Rais baru berani mengunjungi kediaman BSD. Itupun atas undangan Papa Miko. Disambut oleh tiga pengawal utama Ratu Sejagad. Papa Miko, Baron dan Gamma. Sedangkan satu lagi kesatria tersembunyi, benar-benar hanya mengamati dari jauh bersama orang-orang yang telah dibayarnya. Mengantisipasi jika terjadi pemberontakan dari si pria yang seringnya sulit mengontrol emosi.
Semua aman.
Maharaja Rais keluar dari rumah dengan mata memerah, rahang mengeras sekaligus umpatan lirih ketika pintu mobil telah tertutup rapat.
Menghilang sejenak mencari penghiburan, sepetinya akan meredakan amarahnya. Entah kemana.
"Dia pikir cuma dia yang berharga?" Rais tersenyum kecut di bangku belakang kendaraan bernilai milyarannya. "Masih banyak perempuan yang mau sama saya dalam sekali panggil," ujarnya pada sopir berbaju hitam yang hanya bisa mengangguk apapun ucapan tuannya.
Pengalihan kekalutan Rais yang tak kunjung hilang. Minuman dan wanita, selalu saja memabukkan. Pikirannya harus tetap waras. Otaknya tidak boleh meledak sebelum waktunya. Rais tidak mau mengakui kepahitan ini. Meski nyatanya ... ia kalah telak.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik Saja
RomanceApakah kesempurnaan selalu jadi tolak ukur kesuksesan manusia? Tidak bagi Cantika. Seorang mantan finalis ratu sejagad, yang kesulitan menemukan pendamping di usia kelewat kepala empat. Petualangan cinta sebelumnya, tak bisa dijadikan acuan seseora...