Bulan yang indah menjadikan saksi bisu, jika ada satu fakta yang harus ku telan bulat-bulat.
_Aksara Adiwarna _Malam ini Aksara termenung di depan teras rumah. Tak ada yang menemani malamnya, dia sendiri duduk di teras dengan secangkir kopi hitam yang menemaninya. Adun sedang ada kerja menjadi tour translator, Pandu sedang menjadi pelatih para juniornya di kampus dan Danur masih di kampus. Pria itu bilang masih harus mengurus beberapa penelitian dan laporan observasi-nya untuk lomba karya ilmiah di Jepang.
Jangan tanyakan di mana bapak Nipun, beliau sedang sangat sibuk mengurus beberapa berkas yang harus di terjemahan. Mungkin malam ini juga adalah kesempatan untuk Aksara melihat isi buku catatan adiknya, dia tak sengaja menemukan buku itu saat pulang kuliah tadi. Buku bersampul biru langit yang terlihat cantik, dia mulai membuka lembar pertama buku itu.
Sama seperti catatan orang kebanyakan, di lembar pertama Danur menuliskan namanya dan silsilah keluarga. Aksara membuka lembar kedua, di sana Danur menuliskan hobi dan kesukaannya, di lembar ketiga Danur menulis hal yang ikut membuat Aksara sedikit terenyuh. Karena di lembar ketiga Danur menulis surat untuk bunda, ternyata pria itu juga masih suka merindukan bunda. Hanya saja, cara penyampaian mereka yang berbeda.
Di lembar berikutnya, Aksara mulai melihat tulisan Danur yang di penuhi oleh kata-kata puitis yang ber-sajak, ternyata Danur sudah memiliki perasaan terhadap Kirana dari 3 bulan yang lalu dan sampai sekarang perasaannya untuk Kirana semakin besar hingga perasaan itu tumbuh menjadi cinta.
Jujur saja hatinya terasa sesak saat membaca tulisan di lembar itu, dia merasa sayapnya di patahkan dengan pisau yang tumpul. Pandangannya menatap sang ratih yang nampak bersinar terang di malam hari, apakah dia harus berhenti mengejar Kirana? Yang selama 3 tahun ini menjadi atensinya di bumantara. Ataukah dia akan berusaha mengejar bintangnya, dan menyakitkan hati sang adik?
Malam ini dengan sang ratih sebagai saksi, bahwa dia harus memilih 2 pilihan dari kedua pilihan yang sulit untuknya. Dia berharap, hal ini akan cepat berlalu dengan dia mengabaikan semuanya. Semoga saja.
•••
Danur menatap sang dewi ratih, tangannya terangkat. Membayangkan jika dirinya sedang memegang bulan sungguhan, dia kembali menurunkan tangannya saat merasakan ada seorang gadis yang menghampirinya. Ternyata Kirana.
Danur menaikan sebelah alisnya, di benaknya sedang bertanya-tanya. Apa yang di lakukan gadis itu malam-malam di kampus? Bahkan jika Danur tidak ingat ada beberapa hasil observasi yang belum di teliti kembali, tak sudi rasanya dia berada di kampus malam-malam. Ingat, Danur itu penakut!
"Loh, belum pulang Dan?" Danur menggeleng, "seharusnya gue yang tanya, ngapain lo malam-malam ke- kampus?" Kirana terkekeh beberapa saat. Danur merekam dengan indah wajah ayu Kirana yang terpampang cahaya bulan, pria itu seperti tak ingin melewatkan momen spesial yang sangat langka sekali untuknya.
"Gue lupa ninggalin kosakata N2 di loker, makanya gue balik lagi buat ambil." Kirana mendudukan tubuhnya di sebelah Danur, mereka sama-sama terdiam menikmati sang dewi ratih dengan hembusan angin malam yang semakin dingin.
Jalanan depan kampus cukup ramai, dan kebetulan sekali mereka duduk di bawah pohon dekat gerbang kampus. Di depannya ada pos satpam yang nampak sepi, biasanya jam segini pak Slamet itu sedang keliling kampus untuk meng-chek keadaan. Takut ada maling kampus katanya.
"Lo nggak kedinginan cuma pake kaos oblong gitu?" Kirana tersenyum, "enggak lah, udah biasa gue." Danur melepaskan jaket levisnya. Lantas ia merangkul kan jaket itu di bahu Kirana, dan hal itu sontak membuat Kirana terkejut bukan main. "Dan ini..." namun ucapannya terhenti saat jarak pandang mereka yang sangat dekat. Bahkan bisa Kirana rasakan bau mint yang keluar dari nafas Danur.
Entah kapan waktunya, namun bisa Kirana rasakan saat benda kenyal yang menempel di bibirnya, menyalurkan hangatnya malam atas pangutan yang terjadi. Di atas sana sang dewi ratih melihat semuanya, 2 pasang remaja yang memiliki hati yang dinamis. Mengabaikan seorang pria yang tengah menangisi pilihan sulit di depan teras rumah.
•••
Aksara menghapus air matanya saat bapak Nipun menghampirinya, beliau duduk di sebelah Aksara yang kembali memandang sang ratih yang masih terang seperti beberapa saat lalu. Bapak menepuk bahu Aksara, pria paruh baya itu ikut menatap sang ratih di atas sana.
"Kamu tau nak, kamu itu ngingetin bapak sama almarhum bunda-mu." Aksara menoleh, "emang apanya yang bikin bapak nginget almarhum bunda?" Bapak menghela nafasnya, pria itu menyandarkan punggungnya pada kursi. Di tatapnya sang bulan lantas kembali menatap kedua bola mata anaknya itu.
"Kalo ada masalah, selalu liat bulan. Kalo mau menyendiri sukanya di teras rumah. Itunya sih yang bikin bapak inget bunda-mu." Bapak bercerita dengan manik mata yang sarat akan kerinduan. "Bunda-mu itu cantik, dia pinter masak, pinter nyanyi, pinter bela diri sama pinter bahasa Jepang juga." Aksara mengangguk, dia paham. Ternyata bakat ibunya itu menurun ke- anaknya.
"Persis kan? Kaya kamu yang suka musik, itu menurun dari bunda. Kaya Pandu yang suka bela diri, itu juga turun dari bunda. Bunda-mu itu serba bisa pokoknya, dia itu dulu juga se- fakultas sama bapak. Makannya bunda-mu jago Jepang."
"Bukannya bunda suka musik, kenapa nggak masuk fakultas seni?" Bapak tertawa mendengarnya, "ada ceritanya den bagus, bunda-mu emang suka musik. Tapi sebelum dia daftar ke- fakultas musik, bunda-mu malah jatuh cinta sama Jepang. Makannya dia masuk fakultas sastra Jepang, dan kamu tahu?" Aksara menggeleng, dia lebih suka mencerna ketimbang memberi jawaban. "Bunda-mu itu pengin banget ke- gunung fuji dan jalan-jalan ngeliat Jepang."
Satu fakta yang baru Aksara tahu, ternyata bundanya memiliki cita-cita yang bahkan cita-citanya belum tercapai. Namun bunda sudah lebih dulu pergi meninggalkan mereka, dan meninggalkan dunia ini.
Aksara kembali termenung di dalam lamunannya, pria itu jadi bertanya-tanya. Memang apa yang menyebabkan bundanya meninggal?
"Pak, Aksara boleh tanya nggak?" Bapak terkekeh, "ya boleh dong, masa enggak." Aksara menghembuskan nafasnya, "kalo boleh tahu, bunda meninggal karena apa pak?" Bapak tersenyum sumir mendengar pertanyaan itu dari mulut Aksara, nyatanya walau sudah hampir 3 tahun ini sang istri telah lama pergi meninggalkan mereka. Satu pertanyaan itu masih bersarang indah di dalam otak anaknya. Apakah dia akan memberi tahu jawabannya, karena menyimpan lebih lama pun rasanya akan percuma.
"Bunda-mu, dia meninggal karena kanker darah." Aksara mengalihkan pandangannya kepada bulan, dia tak ingin menatap wajah bapak. Karena dia takut, air matanya akan kembali mengalir keluar.
•••
Senang bisa kembali menulis:)
Welcome yang baru baca cerita ini,
Semoga kalian menikmati ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara Aksara || Haechan (END)
Teen Fiction"Sebenarnya, salah satu dari mereka menjauh untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama." Aksara mengucapkannya bersamaan dengan lagu yang masih terputar. ... "Gimana? Udah tahu makna...