30: Belenggu yang terbebas

148 28 31
                                    

"Natas, nitis, netes."

(Dari Tuhan kita ada, bersama Tuhan kita hidup, dan bersatu dengan Tuhan kita kembali)

•••

Rumah Jina nampak sangat sepi dari luar. Bahkan rasanya lebih mirip seperti rumah berhantu ketimbang rumah manusia. Tapi apapun itu Aksara tetap mem-beranikan dirinya menapaki rumah Jina.

Dia membuka perlahan pintu rumah itu yang ternyata tidak di kunci. Maka dengan perlahan dia memasuki kembali rumah Jina, baru saja dia menapaki ruang keluarga yang terlihat berantakan. Dia mendengar dengan jelas jeritan Kirana dari kamar sebelah, dimana itu adalah kamar Jina.

Jantungnya berpacu hebat, dengan segala ancang-ancang dan kekuatan yang ia kumpulkan. Dia berhasil mendobrak pintu kamar itu yang tadinya terkunci. Lihatlah pria brengsek itu yang sudah mulai melucuti pakaian Jina. Dengan cepat Aksara menarik kerah belakang ayah Jina dan membenturkannya ke tembok.

Dia menghajar secara brutal wajah ayah Jina. Tidak sia-sia juga dia berlatih tinju dengan Pandu, nyatanya itu sangatlah membantu di keadaan genting seperti ini. Mungkin setelah ini dia harus berterima kasih kepada abangnya yang satu itu.

Aksara menjauhkan wajahnya setelah puas membuat ayah Jina pingsan. Bau alkohol dari pria itu sungguh sangat menyengat. Aksara jadi bertanya-tanya, berapa banyak kah alkohol yang ayah Jina minum setiap harinya?

Aksara melepaskan jaketnya untuk Kirana. Dia menolehkan pandangannya, sebagai hal privasi untuk tidak melihat yang seharusnya tidak ia lihat. Setelah di rasa selesai dia memeluk tubuh Kirana yang nampak ketakutan. Tubuh yang terlihat lemah dan menggigil itu membuatnya merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan gadis pujaannya dengan cepat.

"Hust, jangan takut ada aku di sini." Kirana menangis, gadis itu memeluk erat Aksara. Kehangatan yang di pancarkan Aksara mampu membuat dirinya sedikit lebih tenang.

Di luar sana hujan kembali mengguyur bumi. Membawa kembali bau petrichor yang menguar di langit malam. Mau Kirana atau Aksara tidak ada yang sadar, jika ayah Jina sudah kembali sadar dari pingsan singkatnya. Maka dengan pisau yang ia sembunyikan di balik saku celananya, dia menusuk leher Aksara.

Kirana mematung di tempat. Gadis itu melihat semuanya, namun bagai gerakan slow-motion dia tidak bisa menghentikan hal itu terjadi. Bisa di rasakan olehnya deru nafas Aksara yang tidak beraturan. Dengan perlahan Kirana menatap wajah Aksara yang masih sempat-sempatnya tersenyum padanya.

Dia merasakan kembali tangan kekar Aksara yang mengelus kepalanya, dalam bisikan malam yang sunyi ini adalah sesuatu yang tidak Kirana harapkan terjadi padanya.

Aksara berbisik lirih di depannya, "Kirana, tolong... bantu tahlil bisa?" Kirana menggeleng, dia jujur masih tidak percaya dengan hal yang terjadi saat ini.

Tapi saat ia menatap kembali manik Aksara, dia tahu pria tan itu masih menunggunya membantu membacakan tahlil. Dia menyandarkan kepala Aksara di bahunya, dengan sayang merangkul tubuh Aksara.

"Laa..."

"L–laa..."

"Illaa..."

"Il–laa.." Kirana mulai terisak pilu, namun ia juga tidak bisa lamanya, karena dia takut Aksara sudah tidak kuat, dia kembali melanjutkan kalimat tahlilnya.

"Ha illallah..."

"Ha.. ill–a llah..."

Selepas mengucapkan itu Aksara tersenyum, dia senang bisa merasakan jiwanya yang terasa ringan tanpa beban. Dan melalui jendela dia bisa terbang menuju bumantara, menghampiri sang bunda yang menyambutnya dengan senyuman manisnya.

Tepat saat tangis Kirana pecah di kamar Jina. Jina dan Danur baru saja sampai. Mereka menatap pemandangan itu dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi satu. Terlebih Danur, pria itu mendekat pada tubuh Aksara yang kini terasa dingin.

Dengan cepat ia menggendong Aksara, dan membawanya ke-rumah sakit. Jina yang sama hancurnya hanya mampu terdiam dengan pikiran kosong. Rasanya otaknya ini tidak mampu mencerna semua itu saat ini.

Jangan tanyakan di mana ayah Jina saat ini. Karena pria brengsek itu sudah lebih dulu pergi menyelamatkan dirinya saat berhasil menusuk leher Aksara.

•••

Bapak menatap terus pada ruang operasi Aksara. Baru saja dia hendak melanjutkan pekerjaannya, namun urung saat Danur menelepon keadaan Aksara saat ini. Dengan Adun yang akan berangkat ke- bandara, dan Pandu yang akan melatih tinju pada anak didik-nya di SMA. Mereka sepakat membatalkan pekerjaan mereka dan memilih melihat kondisi terkini Aksara.

Tak ada yang membuka percakapan disana. Baik Sahir dan Raksa yang biasanya receh menjadi hening saat tahu kondisi sahabat mereka yang tengah berjuang antara hidup dan mati disana.

Dalam diam mereka terus berdoa kepada tuhan, semoga tuhan berbaik hati menyelamatkan nyawa Aksara. Kirana sendiri sedang berada di ruang perawatan di temani oleh Ningsih, sang ibu tercinta. Untuk Jina, gadis itu tengah berdoa dengan menautkan jari jemarinya di tempat tunggu.

Bagaikan bab dalam novel, bagi bapak Nipun ini adalah puncak dari segala puncak kehidupannya setelah kejadian bunda 3 tahun silam. Bapak kecewa? Sangat. Bahkan dia sangat kecewa terlebih pada Pandu yang tidak mengatakan hal ini pada orang-orang rumah.

Tentang penyakit Aksara dan segala gundah gulana pria tan itu.

Jika di katakan, Aksara adalah pria misterius yang mampu menyembunyikan segala keluh kesahnya, dan selalu mencairkan suasana walau banyak masalah tertera di hidupnya.

Satu momen kembali terlintas di bawah bumantara yang di naungi cahaya ratih. Percakapan singkatnya di teras rumah bersama Aksara, tentang kematian sang bunda.

"Pak, Aksara boleh tanya nggak?" Bapak terkekeh, "ya boleh dong, masa enggak." Aksara menghembuskan nafasnya, "kalo boleh tahu, bunda meninggal karena apa pak?" Bapak tersenyum sumir mendengar pertanyaan itu dari mulut Aksara, nyatanya walau sudah hampir 3 tahun ini sang istri telah lama pergi meninggalkan mereka. Satu pertanyaan itu masih bersarang indah di dalam otak anaknya. Apakah dia akan memberi tahu jawabannya, karena menyimpan lebih lama pun rasanya akan percuma.

"Bunda-mu, dia meninggal karena kanker darah." Aksara mengalihkan pandangannya kepada bulan, dia tak ingin menatap wajah bapak. Karena dia takut, air matanya akan kembali mengalir keluar.

Bapak jadi tahu, apakah itu suatu clue dari Aksara. Jika waktu itu dirinya sudah mengalami penyakit itu?

Entah mengapa rasanya sangat menyesakkan, tidak cukup kah sang istri yang telah pergi karena penyakit itu. Kini dengan tenangnya tuhan kembali menjatuhkan penyakit yang sama pada sang anak.

Kepingan dalam hal kolase kembali menyatu, menciptakan kembali puzle yang pernah hilang dalam ingatannya. Dia kembali teringat masa kecil Aksara yang selalu tersenyum dan tertawa ceria, walau saat di pemakaman almarhum istrinya dia tetap tersenyum dan menjadi sandaran nyaman para saudaranya yang lain. Dan tanpa mereka pikir, bahwa Aksara adalah sosok yang paling merasa kehilangan sosok bunda dalam hidupnya.

Danur mengepalkan tangannya erat. Dia menatap tajam pada kaca operasi, dimana di dalam sana ada Aksara yang tengah di tangani oleh dokter.

Sampai lo nggak bangun, gue janji nggak akan pernah maafin lo. Ucapnya dalam batin.

•••

Happy reading:)

Bumantara Aksara || Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang