1: Keripik sukun & Aksara

389 109 219
                                    

"Kenangan itu tak selamanya ada, walaupun memori otak kita menyimpannya. Tapi, lambat laun pasti bisa hilang maka dari itu ulang lah terus kenangan yang indah, se- indah keripik sukun."
_Aksara Adiwarna_

Pagi-pagi gosok gigi, cuci muka terus mandi...

Jangan harapkan hal itu terjadi pada manusia yang bernama Aksara. Bahkan untuk sekedar menyibak korden jendela pun tak ia lakukan, tapi bersyukurlah karena ada Danur yang rajinnya menyaingi Aksara.

Pagi yang mendung di tambah suasana yang dingin, adalah nilai plus untuk kaum rebahan yang hobi sekali berlayar di pulau kapuk. Salah satunya Aksara. Di jam kuliah siangnya dia menghabiskan sisa paginya hanya untuk tiduran. Untuk masalah memasak? Tenang, ada Danur yang jadi ahlinya.

"Innalillahi, anak siapa ini jam segini belum bangun?" Suara berat milik Pandu terdengar di telinga Aksara, namun tetap saja pria itu tak kunjung membuka matanya. Bahkan dengan sengaja menutup telinganya dengan kampil guling berwarna pink.

Iya, jadi jangan heran dengan selera Aksara yang konyol. Aksara itu pecinta warna pink garis keras! Bodoamat sama ghibahan tetangga. Asalkan Aksara senang sih, dia mah tidak peduli. Jadi jangan heran jika kalian menemukan kasur yang serba pink, helm pink, bahkan pakaian yang ada warna pink-nya.

"Mau bangun sendiri atau di bangunin?" Baiklah, rupanya Pandu sudah tidak tahan dengan saudaranya yang terkenal pemalas ini. Maka jangan salahkan Pandu ya, bila Aksara harus meng-aputansi salah satu telinganya.

•••

Ku menangis, membayangkan...

Aksara mengeluarkan air mata buayanya, pria itu masih setia memegangi telinganya yang nyaris copot karena jeweran maut Pandu. Baiklah, mungkin ini masih belum seberapa dengan jeweran abang pertamanya, Adun Adiwangsa.

Pria itu, jika sudah main tangan jangan lawan pokoknya, biar badan mungil tapi Adun itu adalah hal yang paling Aksara hindari. Ya salah satunya itu, jeweran Adun yang sialnya sangat mematikan. Bahkan Aksara pernah di jewer oleh Adun, berakhir dengan telinganya yang sedikit robek di atas. Untung saja telinganya sudah sembuh.

"Cih, katanya lakik! Baru di jewer aja udah nangis bombay." Danur keluar dari dapur, tak lupa dengan keripik sukun yang baru saja di goreng. Benar-benar, keripik sukun buatan Danur itu mirip sekali dengan buatan bunda. Jadi jangan salahkan Aksara, bila pria itu akan menghabiskan 1 toples sukun untuknya seorang.

"Lo nggak tau aja sih rasanya gimana, coba lo rasain sendiri." Aksara merengut, pria itu kembali menikmati tontonan 'ku menangis' di temani dengan keripik sukun buatan Danur.

"Lo sendiri aneh, udah tau kalo abis subuh jangan tidur. Lo- nya malah enakan tidur." Danur juga ikut kesal, ingin sekali ia mencekek leher Aksara sampai mati jika saja ia tidak ingat fakta, bahwa Aksara ini adalah abangnya.

"Ini yang di namain beban keluarga!" Kata-kata pedas dan sangat merdu ini, siapa lagi yang bisa berkata seperti itu jika bukan Adun Adiwangsa. Anak pertama dari bapak Nipun yang sangat suka kedisiplinan.

Adun ini sudah bekerja, dia bekerja menjadi translator bahasa Jepang. Sama dengan bapak sebenarnya, hanya saja bapak Nipun ini lebih menjadi penerjemah naskah ketimbang menjadi penerjemah tour. Tapi karena bang Adun yang suka jalan-jalan, dia jadi memilih menjadi penerjemah para turis atau penerjemah naskah. Terserah dapatnya yang mana.

Menjadi penerjemah pun tidak main-main untuk masalah gaji, bahkan nominalnya bisa sampai puluhan juta. Apalagi jika memiliki sertifikat JLPTN2/N1 untuk bahasa Jepang. Bakalan dapat gaji tambahan.

Aksara mengabaikan cibiran Adun padanya, apalagi saat mendengar omelan Adun yang ingin acara tv- nya di ganti dengan saluran India. Oh, tidak bisa begitu. Aksara ini pecinta sinetron anak jalanan, berbeda dengan abangnya Adun yang pecinta garis keras film 90-an.

Benar, entah film India maupun Barat, entah film Indonesia atau drakor. Pokoknya yang berbau 90-an itu adalah kesukaan Adun. Tidak bisa di pungkiri, bahkan pria itu memiliki banyak sekali koleksi kaset lagu milik Ebit G Ade, dan penyanyi lainnya yang bernuansa 90-an. Katanya Adun sih, "yang bernuansa klasik itu lebih menyentuh hati." Alah bulshit, Aksara tidak percaya itu. Buktinya saat Aksara menonton film 'Bumi manusia' Adun ikut menangis.

Sebenarnya bukan salah Adun yang menangis karena film itu yang berakhir perpisahan antara suami-istri yang di pisahkan oleh kasta. Tapi film 'Bumi manusia' memang bernuansa 90-an, itu kenapa Adun juga ikut menonton. Walaupun filmnya baru di rilis pada tanggal 15 Agustus 2019. kisah dua anak manusia yang meramu cinta di atas pentas pergelutan tanah kolonial awal abad 20. Inilah kisah Minke dan Annelies. Kisah yang mengharukan bagi Adun.

"Eh, anak bapak pada kumpul nih." Bapak Nipun menghampiri anak-anaknya. Duduk di sebelah Danur yang tengah memakan keripik sukun, bapak Nipun juga ikut mencomot keripik sukun. Dan saat menyuapkan kedalam mulutnya, ia merasakan sensasi yang lama tidak ia rasakan. Memang benar, Danur itu sama dengan mendiang istrinya. Bahkan keripik ini pun rasanya sangat mirip dengan buatan mendiang istrinya.

"Kamu mau berangkat kapan Nur?" Danur menatap jam yang ada di ruang keluarga, "jam 9 sih pak." Bapak mengangguk, "kamu berangkat jam berapa Ra?" Aksara yang tengah mengunyah keripik sukunnya segera menelan. "Aksara mah berangkat siang pak."

"Mana boleh! Entar gue nebeng siapa?!" Danur bertanya tak selow, pria itu menatap kembarannya tajam. Jika bukan dengan Aksara, dia akan berangkat dengan siapa? Haruskah Danur naik bus? Oh ayolah, padahal Danur ini sudah rapih loh. Mana mau dia berdesak-desakan dengan berbagai human yang ada di dalam bus.

Aksara sendiri tersedak saat mendengar kata-kata Danur yang terdengar mengajak war, pria tan itu segera kedapur dan menenggak air putih dengan rakus. Pandu yang baru keluar dari kamar mandi menaikan alisnya, hal apa yang sudah di lewati olehnya kira-kira.

"Danur, lain kali jangan kaya gitu ya. Kasihan tuh abang mu kesedak." Danur mengangguk patuh, memang sih ini salahnya. Tapi dia juga secara refleks mengatakannya.

"Wih, ada keripik sukun." Pandu mengusap tangannya yang di pukul oleh Adun. Pria mungil itu menatap tajam kearah Pandu yang ingin mengambil keripik sukun. "Udah cebok belum?!" Pandu menghela nafasnya, "udah bang, tenang aja napa." Pandu mengendus tak senang, memang dirinya ini sama seperti Banem apa? Kucing tetangga yang suka sekali membuang kotorannya di selokan depan rumah.

Mereka kembali menikmati kebersamaan di pagi hari yang mendung itu bersama, sebelum mereka kembali beraktivitas seperti biasanya.

•••

Write: 08.25 WIB
20 Desember 2021

Pena by, Coffee_pen

Senang rasanya kalian menikmati cerita ini:)

Bumantara Aksara || Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang