29: Marahnya Adun Adiwangsa

112 27 20
                                    

"Sabar iku ingaran mustikaning laku."

(Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratkan sebuah hal yang sangat indah dalam sebuah kehidupan)

•••

Sudah dari 2 jam yang lalu Adun terus menunggu Aksara di ruang keluarga. Nuansa mencekam dan gelap datang tepat pada Adun yang nampak menahan seluruh amarahnya. Pandu, pria itu hanya mampu terdiam di salah satu sofa yang ada disana. Membiarkan sunyi mencekam menghiasi suasana sepinya rumah.

Tak selang berapa lama, pintu rumah terbuka. Menampakkan sosok yang sedari tadi di tunggu olehnya. Dengan kasar Adun melemparkan kertas itu, tepat di wajah Aksara yang masih menatapnya penuh tanda tanya. Namun saat kertas putih itu di tangkap, raut wajahnya berubah menjadi tegang dalam sedetik.

"Gimana? Udah mau wafat belum?"

Di tempat duduknya, Pandu menatap tajam pada Adun yang mengatakan hal seperti itu. Perkataan kasar yang bisa saja menjatuhkan mental lawan bicaranya. Bisa saja Adun mengucapkan kalimat seperti itu pada orang lain, tapi jangan untuk Aksara. Seharusnya.

"Bang, gue..."

"Enggak puas lo nyimpen penyakit sialan itu sendirian?! Enggak puas lo jadi beban pikiran bapak?! Masih ada lagi yang kurang? Sekarang lo mau bikin bapak jantungan gara-gara denger penyakit lo itu!" Adun masih setia menatap nyalang dan permusuhan pada Aksara. Pria mungil itu nampak masih menahan amarahnya sebisa mungkin, agar dia tidak sampai menyakiti Aksara yang sedang sakit.

"LO ITU ANGGAP GUE APA?! KALO LO ANGGAP GUE ABANG, HARUSNYA LO ITU NGGAK NYIMPEN MASALAH INI SENDIRIAN! KALO LO ANGGAP KITA SEMUA KELUARGA! HARUSNYA, LO ITU KASIH TAU KITA TENTANG INI AKSARA!!"

Habis sudah kemarahan Adun yang berusaha di lampiaskan olehnya melalui teriakan. Untung saja bapak sedang berada di perusahaan Vc, menjadi translator dan juru bicara di acara rapat perusahaan. Jadi Adun maupun Pandu sedikit tenang, karena bapak tidak akan tahu. Yah, setidaknya bukan saat ini.

"Gue minta maaf bang." Aksara menangis. Untuk pertama kalinya bagi Adun dan Pandu melihat Aksara menangis. Benarkah ini Aksara? Pria yang bahkan tidak pernah menangis dalam keadaan apapun.

"Gue tau gue salah, enggak seharusnya gue simpen masalah ini. Tapi gue juga nggak mau, terus-terusan jadi beban buat kalian semua. Udah cukup bapak yang susah-susah biaya-in gue sama Danur kuliah, udah cukup juga kalian yang selalu belanjain stok bulanan dan keperluan lain. Dan gue nggak mau jadi beban tambahan buat kalian semua. Apalagi Danur yang bentar lagi butuh biaya gede."

Adun menengadahkan wajahnya ke- atap langit-langit rumah. Pria itu berusaha sekeras mungkin menahan air matanya yang ingin keluar dari pelupuknya. Dia merasakan marah, kecewa, dan takut menjadi satu dalam hatinya. Dia kecewa karena Aksara menyimpan hal sepenting ini, marah karena Aksara menjadikan dirinya se- olah—olah adalah beban keluarga, dan takut karena dia tidak mau Aksara pergi seperti bunda.

Pandu melangkah mendekat pada Aksara. Pria itu memeluk tubuh Aksara yang semakin ringkih setiap harinya, dia juga merasakan hal yang sama seperti Adun. Marah, kecewa dan takut. Tapi sekeras apapun dia ingin meninju wajah Aksara, dia tidak bisa melakukannya sekarang.

Kemudian Adun ikut memeluk erat kedua adiknya. Pria itu sudah tidak tahan lagi, jadi ia biarkan saja air mata mengalir deras di pipinya.

"Everything be okay, jangan pada nangis dong! Cengeng banget sih. Katanya cowok kok nangis bombay." Pandu memecahkan rasa sedih itu dengan perkataannya yang asal. Namun cukup berhasil membuat kedua saudaranya kembali tersenyum.

"Bener, everything be okay! Dan buat lo Aksa. Jangan pernah merasa jadi beban buat keluarga, karena itu juga termasuk tugas orang tua dan kakak untuk mem-biayai kamu sama Danur sampai lulus! Jadi jangan pernah ngomong gitu lagi Aksa." Aksara tersenyum, dia mengangguk semangat dan kembali memeluk erat tubuh Adun. Adun membalas pelukan Aksara tak kalah erat, karena tak ingin ketinggalan Pandu juga ikutan memeluk kedua saudaranya itu.

Biarlah waktu berlalu. Mereka harap, malam ini akan mereka jalani dengan lembaran baru yang akan tertulis melalui sebait aksara yang di miliki oleh bumantara.

•••

Di sela aktivitas makan malam, mereka di kejutkan oleh suara ponsel Aksara yang berdering cukup keras. Bapak yang juga tengah makan menghentikan makannya, pria itu ikut menunggu siapa yang sudah berani mengganggu waktu makan malam mereka.

"Kakek..." bapak mengangguk paham, pria itu mempersilahkan agar Aksara menerima telpon dari kakek Sumoaji.

"Assalamualaikum kek, ada apa?"

"Iya kek, Aksa bantu cari!"

Semuanya menatap pada Aksara, "kakek bilang kalo Kirana hilang. Dari tadi pagi sampai malam belum pulang."

Pandu membersihkan bekas bumbu di jari-jari tangannya dengan mulut, pria itu segera mengemasi piring yang lauk pauknya sudah habis.

"Emang ada masalah apa sampai Kirana belum pulang rumah. Apa ada kaitannya sama kamu?" Bapak bertanya. Aksara mengangguk, pria itu segera berdiri dan membersihkan tangannya di westafel dapur. Mengambil jaket jeans hitamnya, dia menyalami tangan bapak dengan khidmat.

"Aksara pamit mau cari Kira pak, doain ya semoga Kirana cepat ketemu."

Bapak mengangguk, "iya, ati-ati di jalan ya nak."

Selepasnya Aksara pergi, meninggalkan bekas deru motor astreanya yang masih bisa di dengar bapak. Entah kenapa, perasaan bapak jadi tidak enak saat ini. Tapi apapun itu, bapak berdoa semoga saja semuanya baik-baik saja.

Aksara menghentikan laju motornya di halte bus. Pria itu berhenti sejenak, merenungkan beberapa tempat yang mungkin saja di datangi oleh Kirana saat ini. Tapi dimana?

Seketika nama Jina yang pertama kali terlintas di otaknya. Pria itu segera mengeluarkan ponsel dari saku jaket, menelepon Jina yang masih di rumah sakit. Kabar baiknya ibu Jina sudah siuman.

Telepon tersambung, di sana Aksara bisa mendengar suara Danur yang bertanya pada Jina. Siapa yang menelepon dirinya semalam ini?

"Halo Aksara." Suara Jina bisa di dengar jelas olehnya.

"Halo Jin, gue mau nanya sama lo. Kalo misalnya Kirana lagi ada masalah, dia pergi kemana yah?" Hening beberapa saat, namun tak lama saat suara Jina kembali terdengar di panggilan teleponnya.

"Biasanya sih dia datang ke-rumah gue. Palingan sih, kalo pun ke- taman dia pasti datang ke-rumah gue dulu baru ke-taman. Emang kenapa? Jangan bilang Kirana hilang."

"Iya, lo bener Jin. Gue juga lagi cari dia, tapi gue nggak tau dia dimana. Makannya gue tanya sama lo, kalo misal Kirana lagi ada masalah dia pergi kemana?"

"Gawat Aksa! Lo harus cepetan datang ke-rumah gue."

"Tenang Jin, emang kenapa sih? Kok lo keliatan khawatir dan takut gitu."

"Masalahnya di rumah gue nggak ada siapa-siapa, kecuali ayah gue Aksa! Gue takut, bajingan itu bakalan macam-macam sama Kirana. Pokoknya lo harus cepet kesana. Gue sama Danur bakalan nyusul, kebetulan di sini ada Sahir sama Laura yang bisa jagain ibu."

Tanpa menjawab lagi Aksara segera mematikan sambungan telepon. Pria itu menyalakan kembali motornya dan melaju secepat mungkin ke-rumah Jina.

•••

Happy reading:)

Bumantara Aksara || Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang