Fatma Azizah
"Fat, kamu pernah mendengar kalau kegagalan bukanlah akhir dari segalanya?""Ya. Tapi bagiku itu hanya cara mereka menghibur diri untuk bangkit dari kegagalan," jawabku saat itu seraya tak beranjak dari dekapannya yang hangat.
"Pun dengan perpisahan. Itu bukan akhir dari sebuah cerita." Doni mengelus pipiku, membuatku memejam agar bisa merasakan desir yang selalu membuatku candu. "Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan dibanding apa yang kita inginkan," lanjutnya.
Dan kini aku sadar maksud dari perbicangan kami tempo hari. Perpisahan yang ia tekankan bukanlah sebuah pembicaraan tentang teori semata melainkan sebuah kabar perpisahan. Bodohnya aku tidak menyadari itu. Aku terlalu naif akibat cintaku yang setinggi gunung Himalaya, juga kepercayanku yang seluas samudra.
Mengingat itu membuatku merasakan gelegak perih yang masih kekal bersemayam di dada.
Lelaki itu menyayat diriku dengan sembilu dengan meninggalkan kenangan yang sulit sekali kupudarkan.
Dering ponsel mengiterupsi lamunanku akan penghianatan yang sulit kusembuhkan. Benda pipih itu menampakan nama seseorang di dalam layar menyala.
"Masih lama?"
"Sebentar lagi, Kaik. Fatma bersiap."
"Lama sekali. Cepatlah sedikit."
Lekas aku bergegas menggunakan sweater. Surai sebatas bahu kuikat ke atas dengan sembarang. Kaik tidak pernah menerima alasan apa pun untuk sebuah keterlambatan. Dan aku menyadari itu sebelum aku memutuskan hijrah- ke pulau dengan mayoritas sebagai nelayan ini- untuk pergi menyayat bayangan yang bisa membuat aku mati perlahan andai aku tak segera melepaskan diri.
Panas terik salah satu pulau di dataran Borneo ini memang tidak perlu lagi dipertanyakan seberapa kadar suhunya. Yang pasti cukup untuk menyengat kulitmu dan merubahnya menjadi pekat. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menghalau sang matahari agar tidak terlalu mengamuk di kulit wajah.
"Panas?" Kaik berteriak di atas buritan, suaranya berlomba dengan desau angin danau.
"Lumayan," jawabku seraya mengayunkan kaki turun dari jembatan kayu menuju geladak.
"Sudah banyak ikannya Kaik?" tanyaku. Panas matahari semakin tak memberi ampun. Namun tak membuat aku menarik diri untuk ikut menangkap ikan seperti pintaku sore kemarin.
"Cukup untuk dijual," katanya. "Kapan kau pulang ke Jawa?" Suara mesin dek terdengar menyala bersamaan dengan getaran perahu sampan yang mulai terasa.
"Nantilah, Kaik. Fatma masih pengen di sini. Bantu Kaik, nangkap ikan." Membual, faktanya aku hanya menonton. Yang sebenarnya bukan hanya sekedar menonton, aku hanya ingin menguapkan bayangan-bayangan kelam yang terus menari-nari tiada henti di dalam tempurung kepalaku alih-alih hanya berdiam diri lalu hanyut dalam mimpi buruk yang sama.
"Lima tahun kau tidak pulang menjenguk. Kaik kira hedon-nya kota sudah membiusmu, melupakan Kaikmu ini." Sampan mulai berjalan, menerbangkan helaian surai yang melambai mengikuti arah angin.
"Makanya jangan usir-usir terus Fatma buat pulang dong, Kaik. Fatma juga pulangnya jarang kan," celetukku.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Aku terdiam. Ada saja yang membuat pikiran selalu memiliki haluan ke sana. Pekerjaan sebagai banker dengan Doni selaku managernya. Bagaimana aku bisa melanjutkan pekerjaanku?
Semenjak ia meninggalkanku dengan selembar surat undangan pernikahan itu, apakah bisa aku bertemu kembali dengannya dan berlaku semua baik-baik saja?
"Biar Fatma pikirkan nanti."
Sesaat kami terdiam. Aku tak menanyakan kenapa Kaik juga ikut terdiam karena aku memilih untuk sibuk sendiri menggeleng-gelengkan kepala menghalau akan proyeksi yang tandang tak kuundang.
"Kalau begitu besok kau gantikan Bibimu ambilkan rapot anaknya. Bibimu sakitnya kambuh."
"Iya, nanti Fatma ambilkan."
.
.
.
.
🌃Bekasi, 27 Desember 2021
nurhasanahajwa
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...