11. AKU MENARI, MERE TERDIAM

590 120 19
                                    

~Fatma Azizah

Dua hari lamanya aku terus mencoba Denial. Beberapa kali kuhempaskan serdadu ingin tahu tentang episode-episode kelam ibuku. Untuk apa? Bukankah itu memang tidak berarti apa-apa bagiku?

Yang kutahu, hanya Ayah yang mengancingkan baju seragam pertamaku. Yang kutahu lelaki berhati malaikat itu pula yang menyempatkan diri untuk mengajariku belajar setelah letih menggelayutinya sepanjang hari. Dan yang kutahu, dirinya pula yang selalu menyembunyikan banyak sayatan untuk kebahagiaan anak semata wayangnya ini.

Ibuku? Siapa dia? Bagaimana rupanya? Usia 4 tahun kiranya bisa mengukir rupa dalam ingatan secara utuh? Tentu saja tidak. Yang bisa kuingat hanya dua helai surainya yang tertinggal di bantal begitu aku membuka mata, tepat di hari kepergiannya.

Satu waktu, pernah kutanya bagaimana perangai menantu Kaik itu. Ayah menjawab "Dia wanita yang gigih"

Itu benar! Dia memang gigih. Gigih dalam merebut suami orang. Setidaknya itu gambaran pasti yang kuyakini setelah selumbari Indo Mere menyajikan kenyataan menampar diri.

Malu? Seharusnya tidak, bukan? Tapi faktanya sejauh apa aku Denial. Rasa kecewa itu terus menyusup semakin dalam. Menciptakan rasa ingin tahu semakin besar.

Langkahku berderap pelan di atas lantai berpapan kayu. Kudapati lelaki dengan gurat-gurat penuh lukisan pengalaman hidup duduk termangu dengan satu cerutu yang ia apit di antara telunjuk dan jari tengahnya.

Kaik sadar keberadaanku di ambang pintu kamar. Ia menyimpan cerutunya lalu tersenyum teduh. "Kemari Fatma," perintahnya.

Aku menurut. Duduk bersama Kaik di bangku panjang dari anyaman kayu.

"Ada yang mau kamu ketahui?" Kaik langsung menembakku dengan pertanyaan itu.

Aku terperangah. "Kaik seolah tau apa yang mau Fatma bicarakan," tebakku.

"Tentu. Banyak telinga dan mata di sini. Kaik diam bukan berarti tidak tahu semua yang terjadi." Kaik terdiam sejenak tampak menarik napas. "Kedatanganmu ke sini memang bisa dihitung jari. Tapi ini kedatanganmu yang paling membuat Kaik khawatir mengingat lama dirimu di sini."

"Maksud Kaik?"

"Tepat usiamu 4 tahun, ayahmu memboyongmu keluar Tanjung Bone ke Pulau Jawa."

Tentu saja aku ingat. Sore itu tanpa mengatakan apa-apa padaku, Ayah menuntunku menuju pelabuhan. Hari itu aku tidak memahami apa pun sampai akhirnya kami mendarat di kota padat penduduk.

"Itu pilihan ayahmu agar kamu tidak mengetahui apa pun yang tidak perlu kamu ketahui. Beberapa tahun kemarin Kaik tidak takut apa yang haram kamu dengar akan kamu dengar, karena kamu tak pernah lama di sini. Tapi sekarang sudah Kaik duga, akhirnya masalah ini sampai juga ke gendang telingamu."

Hening. Pikiranku melayang. Inikah alasan Kaik menanyakan kapan aku akan pulang saat pertama kali aku ikut mencari ikan dulu? Ini juga alasan Kaik terdiam setelah aku menjawab ingin lebih lama di sini. Dan apakah ini pula alasan puluhan pasang mata menatapku jijik saat berada di sekolah Yunus?

Ya Tuhan. Jika memang ini alasannya, adakah cara aku untuk tidak semakin membenci wanita itu. Dia mewariskan kotoran untuk diriku.

"Bisa Kaik jelasnya ceritanya?" Aku mencoba menggali. Meski kuyakin luka lama yang kukubur akan kembali mencuat bersamaan dengan lantunan cerita Kaik.

Lagi-lagi Kaik mendesah. Kali ini dibarengi dirinya yang menjatuhkan punggung ke dinding kayu rumah. "Memang harus diceritakan. Ndak ada lagi alasan untuk menyembunyikan. Kamu juga sudah tahu dari indo Mere, kan?" Kaik menatapku seolah netranya masih mencari keyakinan pada diriku. "Lagi pun kamu bukan anak kecil lagi. Ndak bisa lagi kamu bungkam tentang cerita orang tuamu." Untuk kesekian kali Kaik menghela napas berat. "Ya. Ambo Mere pergi meninggalkan Tanjung Bone untuk pergi bersama ibumu."

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang