~Gesan Aji Mere
Aku masih ingat ketika laki-laki yang seharusnya mengajarkan aku mengenal Tuhan angkat kaki dari rumah kami.
Hari itu, di waktu yang paling afdol melaksanakan salat dhuha. Saat kebanyakan pria di kampungku masih berada di tengah danau menjaring ikan untuk dijual ke pengepul demi mengisi lambung istri dan anak-anaknya.
Ambo-ku yang gagah dan pendiam justru mengendong tas ranselnya di punggung, ia berjalan dengan kepala tertunduk membelakangi rumah kami.
Katanya, pernikahannya dengan Indo tak bahagia, tak ada cinta, tak ada rasa. Ia membenci perjodohan mereka yang memenjarakannya dalam rumah tangga tak diingininya.
Ketika itu aku belum paham apa yang terjadi. Masih terlalu kecil, kira-kira berumur 8 tahun atau 9 tahun, aku tak begitu ingat, yang pasti momen tersebut bertepatan dengan hari pembagian raport di kelas lima sekolah dasar. Aku berlari pulang untuk memamerkan pencapaian hasil belajar selama 1 caturwulan, dan yang aku dapati bukan tepukan bangga di pundak, bukan juga elusan sayang di kepala, tapi tangis menyayat milik Indo di pelataran rumah kami.
Indo memohon, berlutut dan bersimpuh, akan tetapi pria itu yang terlanjur memahatkan nama cinta pertamanya di hati tak peduli. Ia terus berjalan, bahkan melewatiku tanpa menoleh.
Apakah cinta tak halalnya itu lebih suci dari cinta bertepuk sebelah tangan Indo?
Apakah janjinya pada Tuhan-nya saat ijab kabul dahulu palsu?
Mengapa bisa pria itu menyentuh Indo di kamar pengantin mereka padahal di hatinya bertahta nama wanita lain?
Bukankah dia teramat dzalim?
Lalu untuk kesedihan yang pria itu genangkan di kediaman kami, tahun tersebut menjadi warsa paling muram sepanjang hidupku di dunia.
Indo tidak hilang kewarasan akibat patah hati seperti wanita-wanita lain yang dihancurkan pernikahannya.
Namun dari caranya yang selalu meminta maaf dan menangis diam-diam di tengah malam sambil memelukku dan memohon pengampunan karna tak bisa memberikan anak semata wayangnya keluarga utuh nan sempurna, menegaskan bahwa Indo sudah jatuh dalam jurang putus asa dan hilang di sana.
Indoku berhenti tertawa, ia juga menutup hatinya untuk dibahagiakan pria lain, sampai detik ini Indoku memilih menjanda seumur hidupnya.
Aku tidak pernah tahu siapa wanita cinta mati Ambo, setidaknya sampai tadi pagi. Sampai Indo melempar lembaran uang hasil keramba kami selama berpuluh-puluh tahun di depan wajah cucu Kaik Dalle.
Aku tidak pernah melihat Indo marah apalagi murka. Indo wanita lembut, wanita ikhlas, wanita yang pasrah. Jadi kalau orang yang melahirkanku ini sampai bertindak diluar kendalinya, itu artinya, luka Indo kembali berdarah. Dan seluruh orang di kampung ini tahu, perih yang tak pernah sembuh meski berwarsa-warsa telah berlalu hanya satu, yaitu sembilu yang diukir Ambo dan wanitanya.
"Ayo, aku antar pulang." Fatma masih mematung di ruang tamu rumah kami. Meski tadi dia sempat mendebat cinta pertamaku di dunia, tetap saja wajah sepupu Wisnu itu tak dapat berbohong, ia shock. "Maafkan Indo'ku, setelah beliau tenang, aku akan memintanya, memohon maaf padamu."
Fatma mendongak, tidak ada lagi raut kemarahan seperti kala ia dan Indo saling adu menyakiti, hanya ada wajah muram. "Apa itu penting?" tanyanya.
"Ambo memutuskan mengejar mantan kekasihnya. Meski kala itu, ada adikku yang baru berusia beberapa minggu dalam kandungan Indo."
Fatma menunduk.
"Tidak lama setelah itu, Indo pendarahan, kata Dukun beranak, calon adikku luruh, ia sudah lama tidak berkembang dalam rahim Indo ... aku pernah melihat Indo temanku yang juga kehilangan calon anaknya karena keguguran, mereka menjerit, menangis pilu, bahkan menyalahkan Tuhan. Tapi ... tidak dengan Indoku, beliau malah sibuk menenangkan keluarga besarnya dan keluarga Ambo yang ingin menyusul Ambo dan wanita itu untuk menghabisi nyawa mereka berdua. Adat dalam keluarga kami memang aneh ..." Ada senyum pahit yang lolos dari sudut bibirku saat sampai pada kalimat terakhir. "Siapapun yang memutuskan kawin lari, maka bagi keluarga Indo dan keluarga Ambo, darah mereka menjadi halal. Itu artinya dua penghianat itu boleh dibunuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...