3. PERTAMA KALI BERTEMU

568 91 5
                                    

Fatma Azizah
"Ini cuma sementara, sampai mama sembuh. Setelah itu kita bakal bareng lagi, Fat." Doni menarik tanganku, air wajahnya gelisah diikuti cengkeraman kencang di pergelangan tanganku.

"Terus gimana dengan Lestari? Nggak Don! Dari awal kamu udah memilih, bahkan tanpa bercerita apa pun ke aku. Kamu tau perasaan aku? Hancur! Dan jangan bikin aku tambah hancur dengan jadiin aku perebut suami orang." Aku melepaskan cengkraman tangannya perlahan. Kembali menggelengkan kepala sebagai penutup perbincangan kami, juga sebagai ketok palu bahwa semuanya sudah final.

"Tapi aku nggak cinta sama dia. Kamu tau alasan aku nikah sama dia apa?" Suara Doni kembali terdengar, bahkan aku bisa merasakan level frustasi dari intonasi juga getar suaranya.

Aku menghirup udara banyak-banyak. Kembali memberi oksigen pada paru-paru yang kian menciut. Aku tak boleh begini, bukan? Seharusnya aku tidak lagi mengingat apa pun tentang lelaki itu. Pun dengan permintaannya yang menyinggung harga diriku sekaligus menorehkan sedikit asa bahwa masih ada sedikit namaku di hatinya.

Ah tidak! Hentikan! Bodoh! Kenapa masih bergelung dengan masa lalu.

Netraku merangkum pemandangan di pulau ini. Berdiam diri dengan duduk di atas jembatan papan kayu kiraku bisa membuat pikiran sedikit sehat. Faktanya batinku masih membiru.

Aku tersenyum sumir. Bau amisnya ikan yang menguar membuat aku sadar bahwa untuk wanita yang sedang patah hati sepertiku, menjadikan pulau kecil ini sebagai pelepas lara tampaknya bukan pilihan yang tepat.

Namun tetap saja, aku tidak punya tujuan lain.

Aku butuh berlari dari hantaman godam tak kasat mata yang terus menghantam jantung tanpa ampun.

Dan tempat ini yang paling aman dari teror lelaki yang sudah beristrikan anak salah satu pejabat ibu kota itu.

Kalian dengar?

Pejabat!

Bagaimana bisa perempuan kelas menengah semacamku beradu ring dengan wanita kelas atas seperti Lestari?

Mimpi!

Suara derap langkah mengentak-entak, membuat jembatan kayu yang sedang kududuki bergetar. Aku melirik ke arah datangnya getaran jembatan. Sepasang kaki berbalut sepatu NB sedang berjalan dengan wajah menatap ke arahku dengan kedua tangan memegang tali tasnya yang sudah tampak lusuh.

"Kamu udah siap, Nus?" tanyaku pada Yunus. Anak yang akan aku wakili mengambil rapotnya.

"Sudah, Kak."

"Pake apa ke sekolahnya?" tanyaku seraya mengangkat kaki setelah sekian lama menjuntai di bawah jembatan yang sedikit tercelup air danau yang sedang pasang.

"Jalan kaki."

"Jauh?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya. Aku masih sibuk mengenakan sandal di kedua kakiku yang basah.

Aku lihat Yunus mengangguk. Aku mengigit bibir.

Bukan apa-apa, aku mulai khawatir dengan amukan panas matahari di kampung ini yang semakin waktu semakin beringas.

Ah, mungkin aku terlalu berlebihan, karena faktanya, rumahku di Bekasi memiliki suhu yang jauh lebih panas dari ini. Hanya saja rumah Kaik tak memiliki pendingin udara seperti kediamanku di kota yang memiliki julukan 'kota patriot'. Jadi, itu sedikit menjadi perhitunganku untuk sedikit menghindari teriknya matahari Tanjung jone.

"Ada sepeda, Kaik. Apa nggak sebaiknya pake sepeda?"

"Kakak bisa pakainya? Sedikit susah pakai sepeda di jembatan papan gini, Kak," timpalnya.

"Nggak apa-apa, Kakak bisa. Bentar ya. Kakak ambil dulu sepeda Kaik."

Pada akhirnya aku mengerti apa yang dikatakan Yunus itu benar. Menggunakan sepeda di jembatan papan kayu sangat tidak efisien untuk orang yang sudah bertahun-tahun tidak mengemudikan kendaraan beroda dua sepertiku. Setang yang kupegang bergerak tidak konsisten-mengarah ke kiri ke kanan. Aku membutuhkan effort yang luar biasa agar bisa menyeimbangkan kembali kemudi.

Bukan hanya aku yang berdebar. Rupanya anak di boncengan belakangku pun demikian. Buktinya, aku merasakan pegangan tangan kecil Yunus di punggungku semakin mengerat.

"Takut, Nus?" tanyaku setengah terkekeh.

Jujur, meski terlihat mainstream, tapi apa yang aku lakukan saat ini membuat perasaanku sedikit lebih nyaman akibat adrenalin yang terpacu.

"Cara Kaka bawa sepeda bikin Yunus takut."

Aku tergelak sepanjang jalan. Sesekali tawaku terhenti karena harus menyeimbangkan kemudi yang bergoyang akibat undakan jembatan yang tak rata di beberapa bagiannya, lalu kembali tertawa lagi sampai akhirnya hilang ketika melihat seorang lelaki berjalan dari arah berlawanan.

Lelaki itu menggunakan pakaian batik dengan motif ulap doyo. Motif yang aku ketahui sebagai motif batik khas daerah Kutai Barat.

Ya, aku mengetahuinya setelah mendengar Kaik bercerita ngalor-ngidul tentang wajah Kutai Barat saat aku ikut menangkap ikan kemarin.

Dia bercerita dengan semangat 45 penuh kebanggaan atas tanah lahirnya. Sedangkan aku saat itu ... ya kalian tahu lah bagaimana wanita patah hati yang berusaha menyembunyikan kesedihannya bersikap.

Kalau tidak salah ingat, dia adalah pemuda pertama yang aku temui setelah hampir satu pekan berada di Tanjung Jone. Padahal belum tentu juga orang yang kuanggap pemuda itu benar-benar pemuda- dalam artian lelaki masih lajang. Wajahnya bisa saja masih muda, tapi tak ada yang tau kalau ternyata dia sudah beristri.

Ketika ia menengadahkan pandangannya setelah sedari tadi sibuk membenarkan pena yang diselip di sakunya sambil berjalan. Sejenak, kami bersitatap, lalu kemudian ia menyunggingkan sedikit senyum sebelum akhirnya berbelok lebih dulu-menuju sekolah-dan hanya menyisakan bagian punggung saja yang bisa kulihat.

Tatapan yang membuat sepedaku kembali oleng.

Sigap aku segera menurunkan kedua tungkai. Seketika laju sepeda terhenti.

"Kami panggil dia Pak guru Mere." Tiba-tiba Yunus berceletuk.

"Eh?"

"Kita hampir terjatuh karena Pak guru Mere, kan?" Terdengar seperti pertanyaan, tapi aku merasa ini sebagai tuduhan.

"Kakak jatuh karena jalannya tidak mulus," kilahku.

"Pak Mere wali kelas Yunus. Nanti Kakak ketemu beliau lagi."

Aku menatap tajam Yunus. Anak itu malah menaik-turunkan kedua alisnya.

"Ndak usah dipikirkan. Nanti Yunus jadi pak comblangnya."

Astaga! Anak kelas 4 SD sudah mengerti istilah comblang-mencomblang. Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Sudahlah, mana tahu anak ini kalau wanita menyedihkan di hadapannya sedang patah hati.

Aku memilih kembali mengayuh sepeda dari pada harus menanggapi ocehan anak kecil yang bahkan baligh saja belum.

Ck!

.

.

.

.

.

Bekasi, 30-Desember-2021.

Pukul 20.11 WIB.

Salam manis nurhasanahajwa

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang