14. CUMBU YANG BERAKHIR PETAKA

146 26 2
                                    

~Gesang Aji Mere

Aku belum pernah berkelahi sebelumnya. Seumur hidupku. Sedari aku kecil, aku banyak mengalah. Ketika aku di sakiti oleh teman sepermainanku, Indo memintaku sabar.

Saat mereka memperolok-olok statusku yang ditinggal pergi oleh Ambo, Indo juga memintaku diam.

Indo tidak suka pertengkaran. Beliau lebih senang aku memaafkan sikap orang-orang di sekelilingku jika ada yang membuat tak nyaman. Kupikir Indo melakukan itu untuk menghindari lebih banyak lagi omongan jelek maupun kasihan yang diberikan kepada kami.

Karena hal itulah, menginjak usia remaja dan dewasa aku sudah terbiasa menghindari pertengkaran. Kalaupun ada yang menyakitiku, aku lebih suka mengecewakan Jin Tabbir karena tak akan meladeni amarah dan dendam yang ditiupkan di telingaku.

Aku tak ingin mematahkan hati Indo. Aku tak ingin air matanya jatuh. Aku tak ingin membuatnya khawatir. Aku tak ingin menjadi seperti Ambo yang menyakiti pemilik surgaku itu. Meskipun dalam darahku mengalir darah yang sama dengan darahnya, tapi aku bersumpah tak akan menjadi bajigan seperti pria pertama Indo tersebut.

Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, beberapa bogem mentah mendarat di pipiku karena perkelahian. Membuat rahangku nyeri dan kulitnya memar. Bahkan hidungku mengeluarkan darah yang mana aku kira tulangnya patah. Dihadiahkan oleh orang asing. Pria dewasa yang tak aku kenal. Laki-laki yang mengaku sebagai kekasih Fatma.

Bagaimana harus menjelaskan kejadian ini pada Indo? Bagaimana caraku membuatnya tak khawatir dan sedih? Karena Fatma, aku berhasil menjadi ingkar atas janjiku sendiri yang tak ingin mengukir raut cemas di wajah Indo.

"Pak Mere!"

Kasir meneriakkan namaku dari balik ruangan berlapis kaca.

"Saya." Aku bergegas menuju arah datangnya suara. Sedikit menundukkan kepala di lobang kecil yang ada di sana.

"Pak Mere, totalnya 632.000 rupiah. Mohon maaf, ya, Pak, BPJS-nya tidak bisa digunakan karena Bapak datang bukan di jam berlakunya BPJS. Tadi sudah disampaikan, kan?"

Sial! 632.000 rupiah? Itu seharga empat belas kilo gram ikan Tomang. Itupun mendapatkannya harus menunggu berhari-hari memasang tajur.

Aku mengeluarkan uang yang disebutkan dan bergegas meninggalkan klinik dengan rasa kesal menumpuk.

Hari ini jelas aku rugi banyak.

Uang, mamar di pipi, luka di hidung dan... ciuman! Si wanita pembuat onar itu mencuri cium dariku!

Dan kekasih terbudak cintanya menghajarku habis-habisan karena panas hati. Membuatku harus berakhir di sini. Menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak ada untungnya sedikit pun buatku.

Kalau Indo tak mengajarkan sabar sedari kecil. Mungkin dua sejoli yang sedang bertengkar itu sudah kukirim ke pulau penangkaran buaya di depan sana. Terserah saja, ingin jadi apa. Bahkan kalau mereka berbaik hati menjadi makanan puluhan predator itu. Aku tak peduli!

Perjalanan panjang hari ini membawaku kembali ke dermaga penyeberangan desa. Aku melepas tambatan perahu kecilku dari tiang penyangga dermaga, kemudian segera melompat naik ke atasnya dan menghidupkan mesin.

Senja telah turun dan membawa serta pemandangan danau yang cantik. Warna kemerahan dari barat memantul di atas air dan bergerak bersama gelombang dari ketinting kecil milikku menuju Kampung Tanjung Jone.

***

Aku tidak bisa tidur karena rasa nyeri dari hidungku kembali berkedut perih. Tidak tahu apa yang salah, padahal tadi dokter mengatakan lukannya tak mengkhawatirkan. Cukup minum obat secara rutin dan mengusahakan agar lubangnya jangan dulu terkena air. Selain itu semua aman. Dalam beberapa hari kedepan hidungku bisa kembali normal karena memang tak sampai patah.

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang