7. YANG KEHILANGAN PIJAKAN

479 94 13
                                    

Fatma Azizah

Aku pemilik self esteem yang tinggi. Itu pula yang membuatku meninggalkan Doni begitu saja, sekalipun lelaki itu telah berlutut dan berjanji akan memberikanku singgasana yang lebih indah setelah dia berhasil melepaskan diri dari pernikahan yang tidak ia kehendaki, katanya.

Dan hari ini seorang guru mengganggu self esteemku. Maka jangan salahkan aku atas apa yang sudah aku lakukan. Aku tidak menerima penghakiman atas role mode yang kukiblatkan.

Memangnya siapa dia?

Bapakku?!

Mengabaikan wajah memelas Yunus, juga menutup rapat gendang telinga dari ocehan Indo Yunus karena sesampainya kami di rumah aku tidak berhasil membawa buku rangkuman nilai anaknya selama setahun tersebut. Aku lebih tertarik membayangkan ekspresi wajah pak guru Mere memanen hasil dari kemesumannya. Wajah dilipat sekian rupa serta kaki Bermandi lumpur. Kukira itu menarik untuk kutonton.

Satu hari setelahnya, aku mulai menyadari kekeliruanku. Bukan karena rasa menyesal telah menenggelamnya sepatu pak guru yang memiliki napsu serupa Kakek Sugiono. Melainkan karena aku mulai ketakutan jikalau Kaik Delle mengetahui apa yang sudah kulakukan di sekolah Yunus.

Kaik Delle cukup tahu seberapa anomali cucunya ini. Sejak kecil-sebelum ayahku membawa aku berhijrah ke Pulau Jawa- aku pernah mengigit tangan anak lelaki yang kulupa siapa namanya hingga kulitnya retak dan berdarah. Dan hasil dari kejadian itu, Kaik Delle menghadiahkanku bekas luka di paha atas yang sampai sekarang masih terlukis abadi di sana.

Sejujurnya aku tidak takut Kaik akan kembali ringan tangan. Pasalnya Fatma yang sekarang bukan Fatma ingusan yang akan tunduk dengan satu cubitan. Hanya saja, bagaimana kalau lebih parah dari cubitan?

Misalnya, Kaik mengusirku dari rumahnya sekarang?

Wanita patah hati dan pengangguran di usir dari rumah sang kakek. Tidak! Itu bukan kabar baik.

Bukan karena aku tidak siap bertemu dengan sang pemilik sembilu. Atau belum siap kembali hidup di tengah kabut polusi. Melainkan harga diriku yang pasti akan terinjak. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya diusir macam kucing yang baru saja ketahuan menggondol ikan. Sudah kukatakan harga diriku adalah yang utama.

Sayangnya aku tidak memiliki hak untuk menolak andai kakek memang melakukan hal yang kutakuti tersebut.

Maka untuk menghalangi cerita kejadian kemarin sampai ke telinga Kaik. Tentu saja aku harus menambah frekuensi memelototi Yunus tiap kali Yunus masuk ke dalam rumah Kaik. Beserta ancaman akan menyunatinya saat ini juga. Biar kuberi tahu, anak yang duduk di kelas empat itu belum sunat.

Sedangkan indo Yunus kupastikan tak akan banyak bicara. Setelah kemarin indo Yunus mengomeli kami berdua dengan kondisi pipinya yang tertempel satu koyo di pipi kanan yang membengkak sebelum dia berangkat ke sekolah menggantikanku menjadi wali anaknya. Terakhir aku melihat indo Yunus-tepatnya pagi tadi- koyonya bertambah menjadi dua bar dan pipinya terlihat dua kali lebih bengkak dari sebelumnya.

Setelah kukira semuanya aman, sejahtera, sentosa secara tiba-tiba sebuah pesan masuk. Mencaciku, meminta aku untuk mengembalikan sepatu itu padanya. Ubun-ubunku memanas.

Aku mengabaikannya. Berharap cerita ini akan surut begitu saja oleh waktu dan angin danau Tanjung Bone. Rupanya tidak. Aku terlalu bodoh karena telah berpikir demikian. Esok harinya diriku menjadi terdakwa di kursi penghakiman.

Kaik Delle menatapku tajam sambil memegang mandau di tangannya. Kontan bulu kudukku berdiri. Kaik tidak berniat menebas cucunya hanya karena satu sepatu yang kurasa sudah seharusnya diganti itu, bukan?

Di belakang tubuh lelaki renta itu, terdapat parasit yang sedang menyembunyikan diri. Mataku melotot ke arahnya, memberi ultimatum bahwa setelah ini aku akan benar-benar merealisasikan ancamanku padanya. Menyunat habis miliknya.

Samar, Yunus menggeleng. Dagunya digerakan menunjuk ke arah seorang anak berperawakan tinggi besar dan berkulit legam.

Aku paham. Rupanya itu parasitnya. Anak itu yang memberikanku nomerku pada Mere dan memberitahu semuanya pada Kaik. Biar kupikirkan nanti akan kuapakan anak itu.

"Jangan macam-macam kau, Fatma. Kalau ndak karena Hasan yang bilang pada Kaikmu ini kelakuan cucunya, mana kutahu kalau cucuku sudah mencoreng nama baik keluarga." Suara Kaik Delle terdengar mengeram menahan kesal. Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan cucunya. "Tak perlu kau tanya di mana kutahu, kau pikir aku diam saja karena tak tahu?! Kaikmu ini hanya menunggu cucu yang katanya sekolah tinggi di kota ini untuk berinisiatif sendiri meminta maaf. Rupanya sampai dua kali aku bertemu matahari di hari yang berbeda, cucu Kaik tak juga berpikir demikian."

"Dia yang mulai duluan, Kaik." Aku berhak membela diri. Faktanya memang lelaki itu yang memulai.

"Apa pun itu masalahnya, kau tetap salah. Sebentar lagi Pak Guru Mere datang ke sini. Dia tetap minta sepatunya ketemu." Setelah mengatakan itu Kaik berdiri lalu menyimpan mandaunya di atas meja. "Kalau tak mau, biar mandau ini yang menyeretmu ke danau tempat kau menenggelamkan sepatu pak Guru." Tenggorokanku terasa kering seketika.

***
Aku diboyong seperti seekor ayam menuju kandang oleh seseorang di belakangku. Lelaki yang menggunakan pakaian kaos berwarna hitam dengan celana pendek 5cm di bawah lutut itu hanya terdengar langkahnya saja. Karena memang aku tak berniat menatap wajahnya sama sekali setelah dirinya tiba di depan daun pintu tepat 10 menit sebelum drama pemboyonganku menuju danau ini terjadi.

"Di mana?" tanyaku kesal. Mau tak mau aku berhenti karena kurasa kulitku mulai terasa perih terbakar.

"Amboy, kan tanganmu itu yang membuangnya. Kenapa pula tanya padaku?"

"Mana kuingat titik pasnya," kilahku. Memang, mana sempat aku mengingat di mana titik sepatu itu kulempar.

Dan betapa bijaksananya lelaki di depanku ini, menjawab hanya dengan senyuman lalu mengangkat bahunya. "Tak tahulah. Yang kutahu Kaik Delle cuma bilang kalau tak kau temukan sepatuku, mandaunya bakal berubah menjadi mandau terbang." Sialan! Aku semakin jengkel dibuatnya.

Dengan insting, aku mencoba mengingat di mana titik jatuhnya. Setelah aku mulai meyakini satu titik, "turun nih?"

Kedua kalinya dia mengangkat bahu.

"Di kota nggak ada lelaki tega seperti anda Pak! Membiarkan seorang anak gadis nyemplung cuma buat nyari sepatu," racauku sambil mulai kaki dipijakkan pada bambu penyangga jembatan

Senyum mengejek yang semula merekah mendadak surut. Entah bagian mana yang salah dari ucapanku.

Lelaki tega?

Serius, dia marah karena itu?

Dia mendekatkan wajahnya di atas wajahku yang menengadah dengan kaki yang setengahnya sudah dicelupkan ke permukaan air. Rambut depannya jatuh hingga menutupi sebagian kecil manik matanya. Dengan suara dingin dia berkata, "di kampung, tidak ada orang tidak beradab seperti wanita di depanku ini!"

Jantungku berpacu lebih cepat. Bukan karena terpesona oleh ... baik, kuaikui dia manis, karena tatapannya yang seolah siap menebas diriku hidup-hidup. Karena kurang fokus akibat merasakan detak jantungku. Tanpa terasa jemari ini melonggarkan cengkeramannya. Di waktu bersamaan aku merasakan tubuhku melayang dan berakhir dengan gelap dan dingin juga sesak.
.
.
****
Banjarnegara, 16- Februari- 2022

Salam manis, nurhasanahajwa

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang