~Fatma Azizah
Meski sejujurnya enggan. Namun aku sempat berpikir akan terbangun selayaknya putri tidur dengan kecupan ringan di bibir.
Am ... maksudku ... ya, bukankah seharusnya dia memberikanku oksigen dari mulutnya seperti yang kerap kali dipertontonkan di film-film?!
Dugaanku salah, ia justru meninggalkanku begitu saja seperti seonggok kain lusuh yang dijemur di tepian jembatan.
Aku terbangun saat bocah- yang kuingat adalah anak yang memberikan nomorku pada pria mesum itu- menepuk pundakku.
Nomor. Ya benar, nomor! Dongkol sedari tadi membuatku lupa jika aku memiliki nomor lelaki itu. Biar kembali kuperlihatkan siapa Fatma Azizzah! Jangan pikir dengan menakuti diriku menggunakan Mandau Kaik, aku tidak berani melakukan konfrontasi padanya.
Tak peduli pukul berapa ini, aku tetap menghubunginya atau aku bisa gila. Dia benar-benar merendahkanku kali ini. Dan aku amat sangat marah!
Ponsel terhubung pada lelaki yang semoga saja wajahnya tak lagi kutemui setelah ini. Tapi Angkara yang meluap-luap membuatku merubah panggilan itu menjadi panggilan video. Berharap dengan memaki di depan wajahnya menciptakan sedikit kepuasan untukku.
Demi Neptunus. Lupakan wajah yang kuharapkan- wajah merasa bersalah- karena ternyata wajah yang kulihat adalah wajah merendahkan. Membuatku semakin ingin mencekik lehernya yang berwarna pekat itu.
Aku meracau. Kubawa serta harta benda Kaik. Meninggikan status sosialku. Kutantang dengan membelikannya ratusan pasang sepatu. Omong kosong yang sejatinya mengocok isi lambungku.
Bagaimana bisa seorang wanita pengangguran membelikan sepasang sepatu. Namun, bodo amat. Yang penting harga diri tidak sampai terjun bebas. Meski di tengah percakapan diri ini melafalkan doa agar dia tidak mengiyakan ucapan konyolku barusan.
Mere boleh saja tidak membuat napasku tersengal karena tidak menggubris tantanganku. Namun beberapa saat kemudian dia berhasil membuat stok oksigen di paru-paruku hampir kritis.
"Kenapa bisa sebesar, itu?" katanya di seberang panggilan sana.
Aku tertegun. Kenapa kalimat itu tidak bisa kusangkutkan dengan kalimatku yang mana pun dalam pembicaraan kami sebelumnya.
"Apa?!" desakku, tak paham.
Gerak Mere tersentak yang entah karena apa. "Gucinya." Jemari Mere menunjuk di depan layar.
Aku membalikkan tubuh. Benar, ada guci di samping tubuhku. Tapi ... Kenapa rasanya masih aneh. Ini tidak besar. Bahkan diameternya tak sampai sebesar kepala manusia.
Kembali menghadap layar. Secara tak sengaja kudapati Mere melirik ke satu titik. Di sana aku mulai memahami bagian mana yang dia katakan besar.
Aku memekik hebat. "Kurang ajar! Guru mesum! Anaknya Kakek Sugiono! Dasar gila!" Racauku menggebu.
Maafkan aku ya Allah. Aku tidak berniat mempertontonkan yang satu ini. Seingatku, sebelum menghubunginya aku sudah menarik selimut untuk menutupi, tapi khilaf membuatku menjatuhkan onggokan kain yang seharusnya menjadi pelindungku.
Ini keterlaluan. Api di ubun-ubunku semakin membesar. Hampir sepanjang malam mata ini tak bisa terpejam. Hingga di waktu azan subuh baru saja bertandang, segera kusambar cardigan yang tergantung di belakang pintu, juga syal kemudian kulilitkan ke leher untuk menutupi bagian yang kata Mere ... Besar?
Tergesa-gesa keluar dari rumah kayu milik Kaik. Netraku melihat sampan bergerak di atas air danau yang airnya membiaskan sisa cahaya bulan sabit . Wanita berpakaian ala kadarnya ini menyipitkan mata untuk mencari tahu siapa pengemudian bertubuh gempal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...