5. MERASA DIRENDAHKAN

533 96 26
                                    

Fatma Azizah
Selepas aku memarkirkan sepeda di samping lapangan sekolah, banyak pasang mata yang memandangku dengan pandangan tak biasa. Bahkan ada beberapa dari mereka secara tak sopan memandangiku dari atas hingga bawah.

Ada yang salah?

Aku coba memindai diriku sendiri mengikuti pergerakan yang sama dengan ibu-ibu yang melihatku barusan.

Rambut digulung bun, kemeja putih lengan pendek lalu celana jeans berwarna biru gelap. Kurasa tak ada yang salah dengan penampilanku.

Sudahlah, tak mau ambil pusing kuabaikan saja pandangan mereka. Mungkin memang begitu cara mereka memerhatikan orang dari luar masyarakat Tanjung Jone.

Sekolah Yunus tampak sederhana. Selayaknya sekolah yang ada di kampung-kampung terpencil kebanyakan. Hanya terdapat beberapa gedung kelas, satu WC, dan satu lapangan olahraga, tanpa ruang UKS, juga perpustakaan. Lapangannya pun masih berupa tanah kuning dengan pilah-pilah bambu yang ditancap di permukaan tanah sebagai pembatas antara rumah warga dan wilayah sekolah .

Aku berjalan mengikuti Yunus untuk masuk ke dalam ruang kelas empat, melewati lorong yang di mana ada beberapa gerombolan ibu-ibu. Mereka sedang sibuk membenarkan kerudungnya bagian bawahnya yang berkali-kali terbang akibat tertepas embusan angin.

Oh ternyata bukan tangan mereka saja yang sibuk, mulutnya pun ikut sibuk!
Sayup-sayup aku mendengar mereka membicarakan aku. Jelas aku bilang mereka membicarakanku saat gendang telingaku jelas menangkap.

"Tanranna fakkota degaga sopang santunna."

Mereka pikir aku tak hafal bahasa mereka, hah?!

Jangan sebut aku cucu Kaik Delle kalau bahasa Bugis saja aku tak tahu!

Ubun-ubunku panas. Terlebih salah satu wali itu mengucapkan kalimat itu di saat aku melewati gerombolannya. Jelas aku merasa ucapan itu untukku. Memangnya siapa lagi orang yang dibilang 'kota' di sini?!

Ingin sekali kucakar muka-muka pencinta drama ikan terbang, itu! Tapi urung kulakukan karena Yunus sudah lebih dulu mencium bau-bau keributan. Sebelum asap di atas ubun-ubun keluar, anak pitik itu menarik tanganku agar mengikutinya masuk ke kelas.

"Harus dibuka ya?" tanyaku begitu berada di depan kelas Yunus. Aku menatap bingung pada jajaran sepatu di atas rak.

"Setiap hari Jumat kami ada kegiatan bersih. Jadi sepatu harus dibuka," kata Yunus. Ia sudah lebih dulu berjongkok, membuka sepatu lalu melenggang pergi begitu saja. Seolah tidak ingin mendengar penolakan dariku.

Aku mendengkus. Terpaksa aku melakukan hal yang sama. Membuka plat shoes-ku lalu menyimpannya di rak, tepat di bagian bawah sepatu Yunus.

Kudengar dari indonya, Yunus tak mau duduk di kursi terdepan. Apalagi alasannya jika tidak karena kesempatannya untuk mencontek lebih besar dibanding kursi bagian depan yang jelas-jelas tak akan luput dari pantauan sang guru. Juga karena di kursi belakang lebih leluasa dipakai untuk mengobrol meski sekedar bisik-bisik.

Untuk kali ini Yunus cerdas, ia mengabaikan idealisnya. Ia memilih duduk di bagian terdepan alih-alih memilih bagian paling belakang.

Baguslah, setidaknya telingaku tak lagi berdengung karena harus mendengarkan suara pegibahan lebih jelas dari para wali di belakang sana. Sudah cukup mataku dibuat pedih oleh cara mereka menatapku barusan.

Tak lama, Pak guru... Mere.

Ya kalau tidak salah Yunus menyebut guru itu dengan panggilan Guru Mere. Ia datang, di tangannya membawa setumpuk rapor bersampulkan coklat. Di letakkanya tumpukan rapor tersebut lalu mendaratkan bokongnya sendiri di kursi.

Tak jauh berbeda dengan momen membagikan rapor masa kecilku dulu. Strukturnya acaranya serupa, tapi ada satu yang berbeda, yang tak aku rasakan di zamanku.

Pak Mere memberikan sedikit ceramahnya untuk para wali murid. Singkatnya, ia mengatakan nilai hanya sebuah nilai. Terlepas dari besar kecil dari nilai yang sang anak dapatnya, pada dasarnya semua memiliki ke keistimewaannya sendiri. Tak semua harus pintar dan memiliki nilai tinggi di matematika, karena bisa jadi minatnya ada pada olahraga atau sebaliknya. Tugas orang tua hanya mendukung apa yang anaknya minati. Karena sesungguhnya masa depan terdapat pada kemampuan anak yang tergali.

Luar biasa. Bolehkah aku bertepuk tangan untuknya. Sebagai seseorang yang pernah mengalami traumatik terhadap guru yang pilih kasih dan memarahiku atas prihal yang tidak sengaja aku lakukan dulu. Melihat bagaimana performanya membuatku hanyut dalam kekaguman.

Namun tidak lagi sampai Pak Mere yang terhormat memanggilku sebagai wali Yunus lalu mengatakan pakaianku tidak sopan!

Sialan!

Apa yang tidak sopan?

Hanya karena dua kancing teratas terbuka bukan berarti kemeja yang kupakai merupakan pakaian tidak bermoral. Apa yang salah dengan gaya kancing ini? Hey ini trend.

Di kota metropolitan pakaian yang kupakai termasuk pakaian yang masih dibilang normal. Dan pun, memang ini adalah pakaian ternormal yang kupunya.
Mungkin jika sepasang mata dirinya kuajak melihat bagaimana bentuk pakaiaku yang lain, matanya akan melompat dari tempatnya.

Bukan aku yang salah. Jelas dia yang bermasalah! Dia yang seharusnya datang pada dokter ahli seksual lalu memeriksakan diri. Aku curiga ia memiliki hormon testoteron di luar dari batas normal.

Semula aku masih berusaha untuk bersikap sopan saat ia tak menerima uluran jabat tanganku. Tapi ini sudah kadung membuat angkara murkaku tak tertahan lagi.

Aku meledak. Kugebrak meja menggunakan kedua telapak tanganku. Yang sialnya justru membuat telapak tanganku terasa perih dan panas.

Mau meringis, tapi gengsi, akhirnya aku hanya bisa menyembunyikan telapak tangan yang memerah di bawah meja.

Kontan riuh dalam kelas mendadak sunyi, menyisakan beberapa suara anak-anak yang sedang membicarakan berapa jumlah kelereng mereka, tapi tak lama suara mereka pun ikut redam.

Suasana mencekam. Kulirik Yunus. Tubuhnya sudah menegang, mulutnya terbuka sampai aku khawatir ada lalat masuk ke dalamnya.

"Ayo pulang, Nus!" kataku.

Aku menarik tangannya, dia menurut atau lebih tepatnya pura-pura menurut karena tak ada pilihan lain selain ikut dari pada membiarkan wajahnya semakin terpanggang rasa malu.

"Oh ya Pak!" Aku berujar terlebih dahulu, sebelum pergi. Rasanya gelegak kemarahan belum paripurna sempurna. "Kalau Bapak butuh dokter Boyke, bisa kontak saya. Kebetulan saya tau di mana alamat prakteknya," sarkasku syarat akan kalimat merendahkan.

Pak Mere tercengang, tapi sebelum dia menjawab ucapanku, aku lebih dulu bergegas keluar dari kelas.

Ketika hendak mengambil sepatuku, kulihat di sebelahku terdapat sepatu pantofel berwarna hitam pekat.

Jelas kutahu sepatu siapa gerangan. Aku menyeringai, sudut bibir terangkat sebelah.

Yunus menggelengkan kepala, wajahnya pias. Namun aku mengabaikannya. Biar kutunjukkan siapa Fatma.

Kuambil sebelah sepatu tersebut, mengabaikan wajah memelas Yunus.

Di jembatan kayu, kulemparkan satu sepatu milik Pak guru mesum, itu. Membuat sepatu itu jatuh pada permukaan air lalu kemudian terendam oleh air hingga wujudnya tak nampak lagi.

"Mampus!" kataku puas.

"Matelah aku, Kak." Kudengar suara di belakangku mengeluh.

Suara Yunus.
.
.
.
.
.
Banjar Negara, 20 Januari 2022

Happy reading
nurhasanahajwa

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang