16. ISTRIKU BERTINGKAH, ISTRIKU MENGGODA (1)

194 31 1
                                    

~Gesang Aji Mere

Seumur hidupku aku belum pernah merasa semalu ini. Terlebih pada mereka para penduduk Kampung Jone.

Aku seorang guru, aku disegani oleh mereka. Bagi mereka aku ini pemuda langka. Cocok jado anak, cocok jadi menantu terbaik.

Mere biarpun tak didampingi sosok Ambo, tetap saja bisa menjadi 'Manusia'.

Mere itu anaknya sopan sekali

Mere itu tutur katanya bagus

Mere itu menundukkan pandang pada wanita

Anak-anak gadis di kampung ini tidak akan cacat jika semua pemuda berahlak macam Mere

Dahulu aku terbiasa mendengar puja-puji seperti itu. Menjadi baik, menjadi berahlak, menjadi kebanggaan, aku selalu menjaga hal-hal tersebut. Aku ingin membuktikan pada keluarga Ambo, bahwa aku berbeda dengan laki-laki peselingkuh itu. Aku tidak akan mengikuti jejaknya setitik pun. Aku Mere, aku anak Indo, aku menghargai wanita.

Namun citra yang aku bangun susah payah, tumbang seketika hanya karena seorang wanita pendatang.

"Sah!" Suara para tetua kampung beriringan.

Semestinya, senyumku lebar mendengar kata kudus itu. Sebaliknya, aku justru terpejam dalam-dalam. Sambil berpikir bahwa ini kesalahan, dan ini seharusnya tak terjadi.

"Mere ...," senggol si Kurcaci yang celakanya adalah pengantin wanitaku.

Aku melirik tidak suka. Jangan tegur aku, jangan tegur aku, jangan tegur aku. Aku tak ingin meremukan leher jenjangmu hingga hancur, batinku berkata. Aku merasa semua hal sial yang terjadi malam ini merupakan kesalahan Fatma.

"Seharusnya ada cincin." Itu hanya gumaman. Mungkin Fatma tak berniat memperdengarkan pada yang lain. Tetapi anehnya semua pasang mata sekarang melihat kepada wanita itu.

Aku memejamkan mata berusaha menahan kesal yang mulai naik ke batang leher. Fatma sungguh pandai membuatku malu. Dalam keadaan tak menyenangkan begini bisa-bisanya dia mengharapkan cincin.

Andai tak ada para tetua dan Indokku di sini, sudah kupikul dia kedermaga untuk kulemparkan dalam danau. Kiranya beku Danau Jempang bisa mengembalikan kewarasannya yang sepertinya memang tak ia punyai.

Sepersekian detik kemudian saat aku membuka mata kudapati tatapan heran dari cucu Kaik Dalle. "Apa?" Mungkin Fatma bingung menemukanku ingin menelannya hidup-hidup. Sesaat setelahnya, dia ber'oh' panjang dan mengibaskan satu tangan. "Aku bercanda. Jangan diambil pusing."

Wahai Fatma si pandai menjungkit kekesalan, seharusnya memang begitu tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang. Karena bibir ceriwismu Indoku melepas cincin beliau dan memberikannya padaku, teriak batinku. Kenapa sih anak ini suka sekali bermain-main dengan amarahku? Sebenarnya dia ini melihatku apa? Kenapa dia tidak pernah menaruh sedikit saja rasa hormat padaku seperti yang biasa gadis-gadis Kampung Jone lakukan?

Tahukah Fatma jika cincin di jari manis tangan kanannya merupakan satu-satunya peninggalan Ambo untuk Indo? Tidak pahamkan dia kalau sebetulnya benda berbentuk lingkaran itu hanya menjadi pengingatku bahwa dahulu sekali ada pria yang menelentarkan aku dan Indo demi wanita lain.

"Maaf, Indo," sesalku.

Indo tak menyahut, beliau membuang muka. Dan karena itu aku yakin sekarang pintu surgaku tertutup rapat.

****

"Kenapa merayu wanita itu kalau ujung-ujungnya masih Indo yang menyiapkan makananmu." Indo menggeser tempat nasi plastik dihadapanku. Nasi goreng ikan asin kesukaan anak semata wayangnya terhidang di dalam wadah berwarna orange.

Aku tak hirau ucapan Indo, terus saja menyendok sarapan dalam jumlah banyak, membuka mulut dan mulai mengunyah berlahan. "Kamu bersikap santai, seolah-olah itu bukan masalah besar," lanjut Indo.

Aku menghentikan kunyahan, menarik napas panjang dan menatap Indo dengan tatapn lelah. Setelah satu hari mendiamkanku, beliau akhirnya mengajakku berbicara hari ini. Aku senang demi apapun, tapi jangan topik tentang Fatma yang mengawali pagiku. Aku tidak suka. "Apa yang masalah, Ndo? Kami menikah karena terpaksa. Dia tidak menyukaiku dan aku tak menyukainya. Kami saling membenci. Yang terjadi malam lalu itu kecelakaan, salah paham warga semata. Laki-laki yang dia cintai bahkan ada di kampung kita, dia berusaha membujuk agar wanita itu mau pulang bersamanya."

Tidak tahu apa yang Indo lakukan, beliau mondar mandir di dekatku. Mengambil sesuatu, meletakkan sesuatu. Dapur kami kecil dan tidak memiliki meja makan. Makanan di hampar dia atas lantai papan tanpa karpet. Makanan yang jatuh tak perlu di pungut, tinggal di sapu memasuki celah-celah papan yang sedikit berjarak, dan remahan akan jatuh meluncur di atas air kolong rumah kami.

"Lalu kamu mau diam saja, membiarkan istrimu dicuri pria lain? Kamu ingin mengulang sejarah?" Aku baru saja akan menyuap sarapanku lagi ketika Indo memprovokasi dengan kalimatnya.

Aku menghentak sendoku, sebagian nasi goreng di atasnya terhempas keluar piring. Kuamati Indo dari balik punggungnya. Beliau sedang menyusun gelas-gelas kaca bertuliskan namanya ke dalam keranjang merah. Tetangga kami akan meminjam untuk acara khitan salah satu anaknya.

"Mengulang sejarah bagaimana, Ndo? ... Aku tidak ingin membuat Indo sedih jadi tolong berhenti membahas mengenai aku dan Fatma. "
"Bagaimana Indo tidak membicarakan perempuan itu? Suka, tidak suka, dia istrimu sekarang." Indo mengangkat keranjangnya dan meletakkan tumpukan gelas itu di depanku. "Apa kata tetangga kalau melihat kalian pisah rumah. Menikah tengah malam saja sudah memalukan, Mere! Jangan lagi kamu tambah dengan desas-desus tak penting."

Aku menyurukkan tangan di sela-sela rambut lalu menggaruknya dengan rasa frustrasi. "Sebenarnya Indo mau menyampaikan apa? Membawa wanita itu ke sini atau bagaimana Katakan dengan jelas agar Mere mengerti, Ndo."

"Kalau kamu punya rasa hormat sedikit saja pada Ambo Dalle, seharusnya dari kemarin kamu mendatangi beliau. Bukan malah mengurung diri di rumah dan melanjutkan hidup seperti tak terjadi apapun." Indo mengambil ancang-ancang untuk memanggul gelas-gelas kacanya. Aku menepis tangan beliau, mengambil alih bawaan itu. Setelahnya aku membiarkan Indo mengikutiku dari belakang tanpa obrolan satu kata pun di antara kami.

***

Sehabis mengantar Indo dan gelas kacanya, aku sengaja melarikan diri ke dermaga. Di sana beberapa pemuda sedang memperbaiki perahu yang bocor. Mereka melumuri dinding perahu dengan dempul kayu. Hal itu dilakukan guna menutup lubang pada perahu.

Aku baru saja ingin mendekat ketika suara pria sesumbar di antara para pemuda nelayan, memasuki gendang telingaku dan itu sangat mengganggu. "Ya, aku memang pecinta sejati dan aku selalu bangga pada diriku. Sekali kujatuh cinta, 1000 pulau kulintasi." Para anak muda kesenangan mendengar kata-kata hiperbola itu. Salah satu di antara mereka bersiul, yang lainnya lagi bersorak.

Hal tersebut sepertinya menaikkan semangat sang pembual untuk meneruskan omong kosongnya. "Kalau kalian jatuh cinta, jangan pernah rusak pasangan kalian. Kalaupun terlanjur, jangan pernah sekali-kali melepas mereka. Jadilah pria bertanggung jawab, sepertiku." Doni kekasih hati Fatma meninggikan diri sambil duduk di kepala perahu. Dia belum melihatku.

Kumpulan pemuda yang tak pernah menyentuh kota semakin tertarik dengan topik Doni. Salah satu bertanya, "itu artinya Bang Doni ada di sini karena ingin bertanggung jawab?"

Doni menggangkat bahu. "Begitulah." Dan jawabannya membuat para bocah polos itu takjub.

Laki-laki kota itu masih pamer saat aku berbalik meninggalkan dermaga. Suara tawa dan siulan sayup-sayup menjauh di belakangku ketika aku berbelok ke arah rumah Indo.

Doni ingin bertanggung jawab?

Aku tersenyum sumir.

Oh, rupanya Fatma ingin bermain-main denganku.

Baiklah, akan kumakan umpannya.

Sambil mengigit bibir aku mengetik pesan pada kekasih tercintanya Doni. Butuh beberapa waktu karena gertakan harus ada dalam barisan kalimat itu. Fatma harus mengkerut dan ketakutan saat membacanya.

****




DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang