Gesan Aji Mere
Aku adalah cucu laki-laki satu-satunya dalam keluarga besar bapak. Dan, sedari kecil terbiasa mendapat menghormatan dari para sepupu perempuanku.Bagi mereka, aku ini adalah mulut kakek dan nenek. Apapun kataku, apapun titahku, tak ada satu pun yang berani membantah atau menolak. Sebab itu sama dengan menolak warisan kebun karet kakek yang berpuluh-puluh hektar.
Menjadi kesayangan di pihak keluarga bapak, tidak membuatku lantas menjadi tinggi hati. Jika saudara-saudara sepupuku menghormatiku, maka aku menyayangi mereka setulus hati yang kumiliki.
Karena dikelilingi oleh banyaknya sepupu perempuan, kakek dan bapak mewanti-wantiku sejak kecil untuk jangan pernah menyakiti serta memukul wanita. Pesan dua generasi tersebut melekat di sanubari dan terkunci dalam sukma. Aku mengigatnya sama seperti mengingat surah pertama dalam Al-Qur'an, saking sakralnya nasihat tersebut.
Namun, tidak untuk hari ini.
Pertama kalinya dalam 28 tahun usiaku, aku ingin sekali memukul wanita.
Walinya Yunus.
Perempuan berpakaian terbuka yang mengira dirinya sedang berada di Negara bagian Alaska. Entah sengaja atau tidak, dia membiarkan dua kancing bajunya terlepas. Lalu, sebagai guru yang mengajarkan nilai-nilai kesopanan dan budi pekerti kepada siswaku, tergeraklah hati suciku untuk mengingatkan dia.
Barangkali karena orang kota. Dia terbiasa dibiarkan, sudah terbiasa memamerkan aset berharga tanpa teguran. Bukannya mengaitkan kancing-kancing di dada atasnya dengan lubang pada kain. Wanita bernama Fatma tersebut malah menggebrak meja dengan kencang. Walinya Yunus itu, tak terima kritikanku. Dia sangat kesal, hidungnya kembang kempis tanda tak dapat menahan emosi. Sebelum pergi dia mengatakan memiliki nomor ponsel Boyke.
Siapa, Boyke?
Nama bapaknya? Dia mau mengadukan aku pada bapaknya?
Atau ... nama desainer baju yang ia pakai tadi?
Ck, orang kota!
Mestinya orang-orang seperti mereka ini, sebelum memasuki kampung-kampung pedalaman harus di tatar terlebih dahulu. Minimal mereka mendapatkan kuliah tentang adat istiadat dan sopan santun di daerah yang akan mereka kunjungi.
Akan tetapi, bukan karena dia akan memberiku nomor ponsel orang yang menanam benih pada ibunya, atau pun perancang bajunya yang membuatku ingin mencekik dia sampai pingsan.
Melainkan, tingkah kekanak-kanakannya!
Bagaimana bisa wanita dengan dada membusung tinggi ke depan-penanda bahwa dia telah melewati fase anak-anak- bisa berkelakuan tengik macam dia?
Andaikata, Cenna, anak didikku di kelas empat tak memberitahu, bisa jadi sampai matahari tergelincir ke arah barat, aku masih bertahan di sekolah demi menemukan sebelah sepatuku.
Sepatu pemberian, Ampa! Hadiah ulang tahunku yang ke 26 tahun.
Satu-satunya kenangan berwujud benda yang ia tinggalkan untukku.
Dan wanita sinting itu mencurinya saat meninggalkan kelasku tadi.
"Kamu yakin, wanita itu melemparnya, di sini?" Aku bertanya pada Cenna sebagai saksi kunci menghilangnya sepatuku.
"Kalau Bapak tidak percaya, tanya aja sama Yunus. Dia lihat, kok, Pak. Waktu tantenya lempar sepatu, Pak Mere."
"Kamu tidak bohong, kan?"
"Ih, Bapak, loh! Kan, kata Bapak, bohong itu dosa. Mana berani saya bohongi, Bapak."
Kepalaku berdenyut pening. Pertama, karena terik matahari tepat di atas kepala. Kedua, sebab terlalu kesal hingga rasanya saat ini juga aku ingin mendatangi rumah Kaik Dalle, menyeret keluar calon istrinya dan menjepit batang leher perempuan sexi itu tengah jembatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...