~Gesang Aji Mere
Aku tumbuh di sini, aku besar di sini. Aku tahu tempat-tempat yang bersih maupun yang terburuk di kacamatan ini.
Meski kawasan ini merupakan daerah kecil dan jauh dari kota, tetapi penginapan dan tempat esek-esek tersedia di sini.
Tergerak mengikuti permainan Fatma, dan membuat Jodi berhenti sesumbar perihal kegigihannya mengejar cinta sampai seberang pulau, aku membawa Fatma ke rumah singgah.
Sialnya, aku malah kebingungan harus melakukan apa saat berada di dalam kamar penginapan. Tadi aku terlewat semangat ingin membuat dua pasang kekasih—Doni dan Fatma—pucat pasi saat menemukan kami di sini nanti. Sehingga aku melewatkan menyusun siasat untuk menghabiskan malam bersama Fatma sebelum kedatangan Doni.
Selagi aku memikirkan apa yang harus kulakukan pada wanita ini. Dia malah merangsek maju padaku, dia sengaja menggesek gunung gemburnya menyentuh dadaku. Sialan Fatma! Seharusnya dia berlagak wanita penggoda saat aku belum menanggalkan hoodie, jadi si dua bukit barisan kembar tak perlu menantang sisi kelaki-lakianku yang selama ini tertidur.
Fatma begitu nakal menggodaku. Menggesek, membelai, mendesah manja, merupakan tiga hal dari sekian banyak usahanya mengeluarkan jiwa mesumku.
Kebohongan besar abad ini jika kukatakan aku tak tergoda. Aku tertawan desahnya, aku terbuai belaiannya. Aku ingin membawanya dalam pelukku, mendekap erat tubuh mungilnya hingga kami lebur menjadi satu.
Namun, melihat bagaimana Fatma yang seperti kucing betina merayu pejantannya. Aku jadi teringat kembali kata-kata Dodi. Betulkah itu? Benarkah mereka pernah menghabiskan malam panjang yang panas?
Jika ya, artinya aku bukan yang pertama? Wajarkah itu, sementara jika kami melakukkannya dia adalah pertamaku.
Setelah memikirkan masak-masak—tentunya di bawah godaan Fatma— aku memutuskan tak akan menyentuh wanita ini. Biarlah dia tetap menjadi milik Doni si pria kesatria cinta dari pulau seberang.
Fatma lelah menggoyahkan imanku. Dia akhirnya mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu yang tak pantas.
Mengerikan, sungguh mengerikan! Tidak cuma pandai memancing hasrat rupanya cucunya imam kampung kami memiliki situs haram di ponselnya. Aku tercengang hingga kukira daguku jatuh ke lantai.
Saat Fatma merasa aku tak merespon segala rayuannya. Dia menyerah, memasang wajah suntuk menuju kamar kecil.
Selagi dia merajuk, pertanyaan tentang dia dan Doni berputar-putar di benakku. Mungkin kah Fatma seliar itu memikatku berkat ajaran Doni? Apakah dia terbiasa melakukan hal tabu semacam ini? Haruskah aku menyentuhnya atau membiarkannya?
Mere brengsek! Mere brengsek! Hatiku memaki.
Dibandingkan mengabaikan Fatma, aku justru menarik tangannya. Aku menggendong dan membuangnya ke kasur kami. Aku melupakan rencana awalku untuk menepuk lalat penganggu sekaligus.
"Mere, tunggu dulu." Fatma berusaha menghentikanku.
Aku hanya mengumam, tidak ingin kegiatanku memberikan tanda merah di lehernya terganggu.
"Mere! Berhenti dulu!" perintahnya lagi.
"Apa, sih?" Aku mengangkat kepala dari ceruk lehernya. Kesal karena diintrupsi. Fatma menatapku bersama dada yang tersegal-sengal, matanya berkilat dibungkus kabut gairah.
"Kamu punya pengaman?"
Pengaman? Aku berpikir sejenak.
Ya jelas tak punya. Memangnya aku laki-laki apa yang petantang-petenteng membawa alat kontrasepsi kemana-mana padahal belum menikah. Mungkin Fatma mengira aku sama dengan pacar-pacarnya. "Tidak punya," terangku.
"Terus ini bagaimana? Mau lanjut? Apa berhenti?" Binggo! Yang aku pikirkan tadi siang ternyata benar. Fatma hanya menjadikanku pelarian dari rasa kecewanya pada Doni. Dia tidak benar-bemar ingin menjadi istriku. Melihat bagaimana dia begitu gusar perihal tak adanya alat pencegah benih itu sudah cukup menjawab semua teka-teki di hatiku.
Fatma ingin membalas Doni makanya dia tak terganggu dengan pernikahan mendadak kami. Fatma ingin Doni marah padanya. Dia mau laki-laki itu merasakan rasa terkhianati seperti yang ia rasakan. Fatma ingin Doni bersujud memohon-mohon ia kembali ke sisi pria itu. Dan Fatma memerlukan aku untuk mewujudkan semua dendam itu. Pantas dia tak ada rasa canggung dan takut sedikitpun dengan kemesrahan kami barusan.
Baikalah begitu rupanya!
"Aku akan senang kalau kamu mau melanjutkannya. Tetapi kalau kamu ingin berhenti, aku rasa itu pilihanmu. Aku toh tidak bisa memaksa 'kan?" kataku membelai salah satu bukit barisan. Oh, inikah yang dinamakan naluri pejantan? Sekalipun dalam hidupku tak pernah menyentuh wanita seintim ini, tetapi bagaimana mungkin tangan dan bibir ini begitu lihai mencari tempat-tempat paling memabukkan di tubuh wanita di bawah tindihanku.
"Sialan kamu, Mere!" Fatma menarikku mencumbu bibirnya. Dia sepertinya juga telah terbakar gairah. Alih-alih mendorongku menjauh, dia malahan menarik suami mendadaknya semakin dalam menenggelamkan ciuman.
Kami menikmati perjalanan menuju puncak kesenangan. Bibir berbelit, gigit mengigit, goda menggoda.
Mabuk.
Candu.
Tak ingin berhenti.
Ketika aku meminta izin pada Fatma untuk membawanya terbang lebih jauh lagi, dia mengangguk—terlihat tegang tapi tak menolak.
Pintuku terbuka, aku mulai bertamu, dan ....
Shit!
Fatma menendangku!
****
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...