Meski besar di kota patriot, tapi aku juga merupakan keturunan Suku Bugis. Terkadang aku membayangkan ketika menikah nanti kain-kain dari Negeri Mamiri akan menghiasi pelaminanku.
Rupanya bayangan itu hanya akan menjadi cerita yang tidak akan terwujud karena sekarang wanita yang sedang ketiban sial ini sudah dinikahkan dengan mas kawin seratus ribu rupiah dan cincin yang Indo Mere lepaskan dari jemarinya. Lupakan uang panai yang nilainya bisa dipakai untuk membeli tanah di Pulau Jawa.
Aku ingin protes!
Oh ayolah. Di ibu kota pada jam malam biasa bertebaran para anak Adam dan Hawa. Malah terkadang aku berada bersama para lalat-lalat malam di antara pedestrian , bergelut dengan kepulan asap juga cerita sang kupu-kupu malam bukanlah hal yang tabu.
Ciuman? Halah! Sudah biasa. Meski aku sendiri, berdiri hanya sebagai seorang penonton. Peduli apa?! Mereka tidak akan peduli dengan tujuanku di tempat itu. Kehidupan di kota mengajarkan kami untuk tidak mengurusi kehidupan satu sama lain. Kami terlalu sibuk mencari pundi-pundi rupiah alih-alih berlomba menjadi paling alim.
Baru kali ini sebuah ciuman bisa membawa seorang perempuan dan laki-laki pada sebuah pernikahan dadakan. Ah sungguh sial nasibku!
Tadi aku memang menawari Mere untuk menjalani hubungan palsu agar Doni bersedia menjauh. Siapa yang tahu akhirnya-seolah menjadi doa-kini lelaki yang satu jam lalu kumintai untuk bekerja sama membuat sebuah drama konyol benar-benar menjadi suamiku.
Kata Mere, kita masih beruntung karena mereka hanya menikahkan kami, bukan menelanjangi dan mengarak keliling desa. Beruntung katanya?!
Bagaimana bisa aku mengucapkan syukur setelah aku berhasil menjadi menantu dari rivalnya ibuku. Lebih lagi saat melihat Indo Mere tadi datang dengan tergopoh-gopong sebelum Mere mengucapkan kalimat sakral. Wajahnya yang pucat, tangannya gemetar, tatapannya sendu.
Sebelumnya, pikirku, wanita yang melahirkan Mere itu akan menjambakku setelah tahu siapa wanita yang terlibat skandal bersama anaknya. Lalu berteriak histeris tak mengizinkan putra semata wayangnya menikahi anak dari seseorang yang pernah menjadi lalat hijau di kehidupannya. Jika itu yang terjadi, percayalah itu lebih baik dari pada harus melihat wajah tertindas macam ibu mertuaku itu. Di sini aku merasa akulah penjahatnya. Apa ini bukan pertanda kiamat untuk diriku sendiri?
Kaik di sampingku tak banyak bicara. Aku juga tak bisa memulai untuk mengeluarkan kata. Cucunya ini tahu pasti bahwa Kaik sangat terluka akibat aku baru saja menumpahkan kotoran di depan wajahnya.
"Indo pulang." Ibu mertuaku itu melangkahkan tungkai dengan manik berkaca, pandangannya menunduk, memecah keheningan di antara kami berempat setelah semuanya bubar. Kulirik Mere, netranya tak kalah mendung serupa ibunya.
"Susul Indomu, Mere. Biarkan Fatma sementara ikut Kaik. Tak boleh ada yang tahu dulu pernikahan ini sampai semua kepala bisa didinginkan," perintah Kaik. Mere mengangguk paham lalu tungkainya melangkah pergi menyusul sisa titik punggung Indonya yang tertelan gelapnya malam.
Tersisalah aku, kaik, temaran bulan dan rasa sedih yang tiba-tiba saja menyusup.
Bukan seperti ini pernikahan impianku!
***
Dua hari berlalu sejak aku sah menjadi istri dari Mere. Seperti hanya sebuah status saja karena setelah malam itu Mere tidak pernah sekalipun menghubungiku.
Bukannya aku ingin sekali dianggap pasangan oleh si Mere, tapi bagaimana pun kami sudah menjadi sepasang suami dan istri. Sudah menjadi keharusan serta kewajiban untuk dia menanyakan kabarku. Apalagi dia tahu bukan hanya dirinya yang terguncang atas kejadian beberapa malam lalu, aku juga sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER RAINY
ChickLit"Kupikir aku tak baik-baik saja setelah kehilangan cinta pertama. Tapi ketika ia datang serupa peri di hari hujan bulan Desember. Aku tahu detik itu juga, hatiku mulai berdetak cuma untuknya." ~Gesan Aji Mere "Aku tahu keadilan Tuhan tidak bisa diin...