12. DIA MENCIUM, AKU MELUMAT

734 121 31
                                    

~ Gesan Aji Mere

Aku bukan pria bersih. Pernah kuliah dan menetap selama 4 tahun di Kota Samarinda mana mungkin tak paham bagaimana cara berciuman.

Namun, jika ada yang bertanya seringkah aku melakukannya, jelas jawabannya tidak!

Aku melakukannya hanya pada satu wanita, itupun atas desakan teman-teman kuliah dahulu.

Namanya Ling-ling? Kalling? Aling? Alling? Ah, aku tak ingat! Itu sudah lama berlalu.

Seingatku dia wanita tercantik di Jurusan Bisnis. Sangat pendiam dan sedikit galak.

Dan tentu saja wajah serta tatapan sinisnya ketika melihat lelaki menjadi target taruhan anak-anak bajingan seperti teman-temanku.

Aku kalah, jadi harus menuruti perintah manusia-manusia muda berahlak selengkangan itu.

Itu ciuman pertamaku, kuberikan pada wanita pemarah di kampus kami.

Saat aku tiba-tiba menempelkan bibirku padanya di perpustakaan kampus. Wanita itu terkejut dan matanya membelalak sangat lebar, tetapi tak memekik.

Kupikir dia suka, jadi aku meneruskan aksi dengan serakah sambil coba-coba menerobos masuk kemulutnya.

Hanya beberapa detik, hingga wanita tersebut sadar dari keterkejutannya, dan kupikir lidahku putus.

Ah, tidak. Dia tidak hanya mengigit lidahku tetapi juga menampar pipiku dan menyeret kami masuk kantor jurusan untuk di sidang. Demi apapun, setelah itu, aku jera mencium wanita sembarangan.

Lalu beberapa tahun kemudian, aku bertemu Ampa.

Ampa yang bersih, Ampa yang menundukkan mata saat memandang pria. Ampa yang tak ingin kusentuh tangannya sebelum resmi menjadi istriku.

Darinya diriku belajar banyak. Tentang memuliakan Mamak, menghargai wanita, dan menjaga pandangan.

Lalu sekarang? Tanpa izin cucu Kaik Dalle menempelkan bibirnya. Bergerak seolah dia sangat ahli melakukannya. Aku sampai gemetaran menahan murka. Beraninya dia menyentuh milik Ampa-ku yang terkasih.

"Plis, balas aku. Aku mohon." Wanita sinting! Dia malah memelas padaku. "Kalau kamu tak sudi, setidaknya berpura-puralah mengimbangiku. Dia berdiri di sana."

Aku tidak tahu wanita ini meracaukan apa. Akan tetapi satu hal, caranya, gerakannya, tekniknya, sungguh kaku dan amatir.

Perahu bergoyang pelan ke kiri dan ke kanan. Sama pelannya dengan hisapan takut-takut Fatma pada bibirku.

Ck! Kalau dia begini, aku yang rugi. Menempel atau menghisap atau bahkan melumat, toh dosanya sama saja.

Bibir kami tetap saja akan di tampar oleh tangan Api Neraka. Kalau sudah bagaimana, kalau sekalian menyebur?

Mari sini biar kuberitahu si Fatma caranya ciuman yang panas. Biar pria yang dikatakan kampungam ini memberikan dia pengalaman ciuman paling gila dalam hidupnya.

"Kamu gila? Kamu mengisap lidahku terlalu kencang!" protes Fatma di tengah ciuman kami. "Auhh ... jangan mengigitku, brengsek!" Lihatlah rubah betina ini! Dia mencuri cium, tetapi dia pula yang mengataiku.

"Maaf, Nona. Aku tidak suka disela saat makan bibir wanita."

"Dasar kamu, Iblis bajingan," desisnya di sela kegiatan kami.

"Aku menolongmu, Nona. Jadi jangan mencelaku, nikmati saja bagaimana Iblis bajingan ini memuaskanmu," kataku menekan kepalanya, memperdalam ciuman kami.

Kupikir Fatma akan melepaskan tautan kami, nyatanya dia malah mengalungkan tangannya di leherku. Benar-benar wanita gila!

"Kak, Mereee!! Apa yang Kakak, lakukan?!"

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang