2. YANG PERGI MENGHILANG, YANG DI TINGGAL MERINDU

726 95 19
                                    

Gesan Aji Mere
"Pak Guru! Tajur-nya bergerak. Kena, Pak!" Hasan siswaku di SDN 020 Tanjung Jone berteriak. Ia merengsek ke depan perahu dengan tergesa-gesa.

"Pelan-pelan, San. Banyak mata pancing. Kakimu bisa tertusuk." Aku menegur Hasan ketika bocah 13 tahun tersebut sedikit tergelincir saat kakinya menginjak lumut hijau dan licin yang menempel di perahu.

Hasan patuh. Ia duduk dengan tenang sambil menungguku mengayuh ketinting yang mesinnya telah kumatikan.

"Besar ikannya, Pak. Sepertinya Toman! Tapi sembunyi di akar teratai. Harus ditebas ini." Muridku antusias menyodorkan tangan, meminta aku melemparkan parang di dekat kakiku padanya.

"Jangan, San ... nanti bunganya rusak."

"Bapak tidak lihat? Selain eceng gondok dan salvania, teratai juga hampir jadi habitat Danau Jempang. Tidak ada kemungkinan punah. Nol persen, Pak." Hasan menunjuk hamparan tumbuhan serupa lotus. "Wuaaaa... dia ngamuk, Pak!" Hasan berseru kegirangan melihat tajur bergerak-gerak dalam air dan menampakkan sisik ikan yang cantik. "Besar, Pak. Besar, uiih. Lempar parang. Lempar, Pak. Biar Hasan tebas palanya."

Kali ini aku membiarkan Hasan. Anak kelas empat SD itu terlalu antusias. Aku tidak boleh membuatnya kecewa hanya karena bunga di hadapan kami adalah kesukaan Tenri Ampa.

Ah, Tenri Ampa.

Hampir 4 tahun dan dadaku selalu berdenyut sakit mengingat namanya.

Setiap kali melihat bunga simbol Dewi Lakshmi, aku semakin menderita. Rindu pada Tenri Ampa-ku kian membiru.

Aku merana, namun dunia mana mau tahu. Ia renggut ratu hatiku tanpa kasihan pada bujangan 30 tahun ini.

Padahal, waktu itu tinggal menghitung beberapa bulan saja, maka wanita yang kutitipi seluruh hati, akan resmi menjadi pelengkap tulang rusukku.

Apa mau di kata, bukan kuasaku menahannya di sini. Mencegah malaikat Izrail agar tak membawa nyawanya pergi, memangnya aku mampu? Menggugat Tuhan pun aku tak berani.

Jadi kubiarkan hati dan cintaku larut bersama keruh yang musim hujan bawa di Danau Jempang.

Entah muaranya di mana, aku tak peduli. Karena tubuh ini hanya milik Ampa, hati pun cuma miliknya. Semoga tak ada yang berani mengetuk, jaminannya 100%, pintunya tak akan pernah terbuka.

"Pak Mere, nanti ikan ini boleh untuk aku, yah. Bapak dapat bagian ikan gabus aja. Aku mau bakar, terus di celupin ke perasan jeruk nipis. Heemm ... lezatt."

"Ada syarat, San."

"Apa, Pak?"

"Besok ke sekolah pakai sepatu. Jangan pakai sandal jepit." Muridku yang ini super bebal. Niat sekolahnya sama dengan kemungkinan punahnya teratai di Danau Jempang. Nol persen!

"Tapi kakiku korengan, Pak. Kata Indo-panggilan ibu, dalam suku bugis- harus kena angin." Tanpa sungkan Hasan menyodorkan kakinya. Dia, tidak bohong. Benar ada buduk, tapi tidak banyak dan mengharuskan dia tidak memakai sepatu. Selain pandai menaikkan tensi, Hasan rupanya juga pintar melebih-lebihkan sesuatu.

"Kesekolah wajib bersepatu. Cuma Hasan yang masih berani kucing-kucingan pakai sandal."

"Nantilah, Pak. Aku pikir-pikir dulu."

"Mau sampai kapan Hasan begini? Tidak kasihan pada Indo?" Aku berusaha mencari simpati si anak nelayan.

"Pak, lihat. Itu Ambo Dalle!" Hasan menunjuk perahu lain di depan kami. Urusan mengalihkan topik pembicaraan, serahkan pada Hasan. Dia juga jagonya.

"Hustt. Kaik! Kaik Dalle." Aku menegur Hasan. Anak ini bener-benar minta ditenggelamkan di rawa-rawa. Orang sesepuh Kaik Dalle, berani sekali ia panggil Ambo Dalle-dalam bahasa bugis, artinya Bapaknya si Dalle- tunggu masuk sekolah ajaran baru, akan ku-download-kan si Hasan ini materi pelajaran budi pekerti dari semua kurikulum yang pernah ada.

"Iyaaa. Kaik Dalle. Becanda, Pak. Canda aja tadi itu," cengir Hasan. "Wish, sama perempuan. Mungkin itu Istri mudanya Kaik Dalle," sambungnya lagi. Mata anak kecil di depanku menyipit, memperjelas objek pantauannya.

"San ...."

"Mantap, Pak! Sebentar lagi kita makan sop konro!"

"Kenapa bisa?"

"Pesta pernikahan Kaik Dalle dan wanita itu," tunjuk muridku.

Maafkan aku Pak Nadiem, Mantri Pendidikan. Maafkan aku Komnas PA, karena tanganku tak tahan tidak melempar siswa sekaligus anak di bawah umur ini dengan satu ekor ikan nila seukuran dua telapak tangan. Hasan mengaduh, tapi bukan menangis dia justru tertawa-tawa sampai memegang perutnya.

Tidak heran kenapa di usianya yang ke 13 tahun dia masih duduk di bangku kelas empat SD. Hasan selalu haus berita tentang orang dewasa, tetapi terlalu malas untuk mencari tahu perihal ilmu pengetahuan.

Meski tidak tertarik dengan objek pengamatan Hasan, aku tetap menatap perahu Kaik Dalle.

Benar ada wanita bersamanya.

Apa benar, Kaik Dalle akan menikah lagi?

Tapi kenapa baru sekarang? Bukankah desas desusnya istri beliau telah meninggal 10 tahun lalu?

Dan juga, melihat bagaimana tangan wanita itu memainkan air di tepi perahu, tidakkah dia terlalu muda untuk ukuran kakek berumur 65 tahun?

Wallahu a'lam bishawab-hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
.
.
.
.
.
🏞Sendawar, Kota kecil di hulu Mahakam. Rabu, 29 Desember 2021.

~With love EthoyRipo

DECEMBER RAINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang