Terhitung sudah dua hari ketiga gadis itu tak pergi ke sekolah. Ketiganya mungkin saja memilih untuk menenangkan diri sebelum kembali ke sekolah tanpa Rosé seperti hari-hari biasanya.
Pagi ini, di meja makan itu terasa sunyi. Ketiganya sama-sama memiliki wajah yang murung. Tentu saja pikiran mereka tertuju pada hal yang sama. Yaitu kondisi Rosé saat ini.
Lisa memandangi makanannya dengan enggan. Setiap saat, dia tak bisa mengenyahkan bayangan Rosé dari benaknya. Dia benar-benar membutuhkan kembarannya untuk kelangsungan hidupnya sendiri.
"Lisa-ya." Lisa mengangkat kepalanya saat Jennie memanggil.
Dia bisa melihat sang kakak berkali-kali menarik napas dalam. Seakan kalimat yang akan dikatakannya begitu berat untuk keluar.
"Aku sudah mencarikanmu sopir---"
"Unnie, kau serius?" Lisa meletakkan sumpitnya dengan kasar.
Dia tertawa renyah. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Jennie. Seorang sopir? Lisa bertaruh. Pikiran kakaknya sudah terlalu jauh hingga tak membiarkan Lisa menyetir mobilnya sendiri.
"Tidak cukupkah dengan benda ini?" Suara Lisa meninggi seraya menunjukkan jam tangannya.
Ia merasa begitu marah karena semakin hari, kedua kakaknya itu semakin mengendalikan hidupnya. Padahal seharusnya, ia bisa lebih bebas karena kedua orang itu sibuk memikirkan Rosé.
"Lisa-ya, Unnie tidak mau kau seperti---"
"Aku dan Rosé berbeda," tekan Lisa memotong ucapan Jisoo.
"Kami memang terlahir bersamaan. Tapi takdirku dan dia berbeda, Unnie. Hal yang Rosé alami, belum tentu ku alami juga." Lisa berusaha menyadarkan kakaknya, jika ia dan Rosé memiliki jalan hidup yang berbeda.
Walau terkadang keduanya memiliki naluri seorang kembaran yang sangat kuat, seperti jika salah satu sakit lalu yang lain akan merasakannya juga. Tapi Lisa mengakui jika mereka berbeda. Mereka memiliki takdir sebagai saudara kembar, tapi bukan berarti semua kehidupan mereka sama.
Merasa kesal dengan kedua kakaknya, Lisa beranjak kasar dari kursi. Dia lebih baik menghindari keduanya, atau amarah Lisa akan sulit untuk dikendalikan dan berakhir menyakiti mereka.
"Kau ingin kemana?" Suara Jennie meninggi, ketika Lisa tampak pergi.
"Ke rumah Luda. Jika tidak percaya, kau bisa melacakku dengan jam sialan ini." Lisa melengos begitu saja. Memasuki mobil putihnya sembari meraih rokok dari dashboard dengan kasar.
"Yang benar saja. Jika aku memiliki sopir, aku tidak bisa merokok di mobil lagi." Lisa menggerutu, lalu menyalakan mobilnya.
Menempuh perjalanan selama dua puluh menit, Lisa sampai di sebuah gedung apartement mewah. Luda memiliki salah satu unit disana.
Sejak satu tahun terakhir, Luda memang tinggal sendirian. Ayahnya sedang mengurus cabang perusahaan di Paris, dan tentu ibunya ikut. Namun Luda memilih menetap di Korea. Ia tak mau berpisah dengan teman-temannya.
Sampai di unit nomor 41, Lisa menekan bel yang sudah terpasang. Menunggu sebentar, hingga Luda membukakan pintu.
"Masuklah. Mereka sudah sampai sedari tadi."
Lisa menatap takjub keberadaan semua temannya disana. Ia bahkan baru mengabari ingin berkumpul di rumah Luda beberapa menit setelah pergi dari rumah.
"Kenapa tidak ke Bar seperti biasa saja? Disini tidak terlalu asik," ujar Yugyeom sembari mengeluarkan beberapa botol minuman beralkohol yang ia bawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savage ✔
Fiksi PenggemarAku sempurna, siapa yang berani? - Jisoo Jung Aku berlian, dan kau sampah. - Jennie Jung Semut pun tak akan berani mendekatiku - Rosé Jung Jangan menatap mataku, jika kau masih ingin bahagia - Lisa Jung Mereka sempurna. Tak ada celah sama sekali, ke...