Saat istirahat, Emily dan Thalia makan di kantin. Mereka melihat John dan Marina makan sambil saling menyuapi dengan cara menjijikan bagi Emily dan Thalia. Pemandangan itu membuat selera makan Emily dan Thalia lenyap.
"Bagaimana bisa aku pernah mencintai pria seperti itu?" Emily heran sendiri karena saat ini perasaannya hanya jijik. Dan kalau dia memiliki sihir dia ingin mengatakan mantra mematikan milik yang sering disebut Voldemort, avada kedavra.
"Aku juga heran padamu, Emily. Sejak melihat John menjadi kekasihmu firasatku mengatakan kalau dia bukan pria yang baik untukmu. Tapi, aku tidak mau hanya karena ucapanku kamu menjauhiku. Saat itu kamu masih tergila-gila padanya."
"Dan aku sangat menyesali perasaanku padanya."
"Oh, kamu tahu, pria yang kita temui di ruangan Pak Alex, dia bekerja di sini." Mata Thalia berbinar.
"Tahu. Tadi pagi dia mengantar kopi untukku."
"Dia juga mengantar kopi untukku, lho. Di ruangan itu dia hanya membuatkan kopi untukku." Thalia tampak bahagia. Padahal Bryan membuatkannya kopi karena disuruh Emily.
Emily hanya tersenyum mendengar cerita Thalia.
"Tapi, Davina tiba-tiba mengambil cangkir kopiku dan meminumnya. Lalu dia bawa ke mejanya. Davina aneh banget, deh."
"Oh ya?" tanya Emily penasaran.
Thalia mengangguk. "Dia tersenyum sama Bryan tapi Bryan tidak membalas senyumnya. Dia terlihat terkejut."
Dahi Emily mengerut. "Mungkinkah..." Emily mencoba berpikir.
"Apa? Mungkinkah apa?" tanya Thalia penasaran.
"Tidak." Emily menggeleng.
John dan Marina mendekati meja Emily dan Thalia. Pria itu menatap dengan tatapan merendahkan Emily. "Aku memang jahat, Emily. Tapi, ya, mau bagaimana lagi, kamu membuatku kesal setiap hari."
Emily enggan menatap John dan Marina.
"Ngomong-ngomong, kami akan tunangan dua bulan lagi. Kalian datang ya ke acara pertunangan kami." Marina terbahak.
"Selamat ya, semoga kalian tidak bahagia." kata Thalia.
"Kurang ajar sekali kamu bilang begitu!" Sewot Marina.
Emily berdiri dan melipat kedua tangannya di atas perut. "Ya, memang kalian tidak bahagia. Kalau kalian bahagia, kalian tidak akan mengusik hidupku lagi. Lagian, apa pedulinya aku dengan pertunangan kalian." tatapannya tertuju pada Marina. "Ambil pria sampah ini, Marina. Aku tidak membutuhkan parasit seperti dia." Katanya tajam sebelum meninggalkan John dan Marina disusul Thalia.
Raut wajah John dan Marina berubah angker.
Alex tersenyum melihat Emily berkata dengan percaya diri. Emily berpapasan dengannya dan senyum Alex seketika lenyap.
"Aku akan datang ke apartemenmu nanti malam." Katanya dengan nada rendah lalu melanjutkan langkah keluar dari kantin.
Thalia mendengar samar-samar perkataan Emily pada Alex. "Tadi kamu bilang apa sama Pak Alex?" tanya Thalia.
"Tidak apa-apa."
"Aku dengar kamu sebut-sebut apartemen, kamu mau tinggal di apartemen Pak Alex?"
Emily menggeleng. "Tentu saja tidak."
"Terus kamu bilang apa sama Pak Alex?"
Emily tersenyum miris. "Rahasia."
Dia merasa harus menyelamatkan rumah bersejarah miliknya. Rumah dan seisinya adalah satu-satunya peninggalan orang tuanya. Dia tidak mau menyerahkan rumah itu dan membuat John bebas dari perbuatan buruknya yang hendak menghancurkan Emily. John dan Marina sama saja, mereka berdua perlu diberi pelajaran agar tidak meremehkan Emily dan satu-satunya orang yang bisa membantu adalah Alex. Meskipun Emily tidak tahu apa yang terjadi nanti dengan hidupnya.
"Es krim." Bryan memberikan es krim rasa stroberi untuk Emily.
"Nah, ini juga buat kamu." Bryan memberikan es krim rasa vanila pada Thalia.
Thalia dengan cepat menerima es krim rasa vanila. "Terima kasih."
Emily tidak berminat makan es krim.
"Makanan dingin bisa perbaiki mood kamu. Ambil. Jangan malu-malu." katanya pada Emily.
Davina merebut es krim rasa stroberi dari tangan Bryan. "Kalau seseorang tidak mau menerima es krim, kamu tidak boleh memaksanya." kata Davina. Dia kembali tersenyum pada Bryan. Senyum misterius.
Davina melirik Emily. Mata mereka bertemu. Mata hijau terang dan abu-abu dingin itu. Dan Davina pergi sembari membawa es krim rasa stroberi.
"Kenapa Davina selalu merebut pemberian Bryan sih?" Thalia heran sendiri.
Kesabaran Bryan sudah diambang batas. Dia tahu Davina berusaha memancingnya. Bryan menyusul Davina. Dia menarik dan membawa wanita itu hingga es krim rasa stroberi itu jatuh. Bryan membawanya ke gudang teknisi yang kosong.
Bryan menyalakan lampu dan menutup pintu gudang. Matanya menyipit pada Davina. "Kenapa kamu menggangguku?"
Davina menatap dingin Bryan. "Aku tidak mengganggumu. Aku hanya merasa kasihan padamu. Kenapa kamu bekerja sebagai office boy? Itu bukan kamu, Bryan."
"Itu urusanku. Urusan kita sudah selesai setahun yang lalu." Bryan menegaskan.
"Kamu menyukai salah satu wanita itu kan? Siapa? Thalia? Emily?"
"Aku sudah tidak mengenalmu lagi. Kita sudah selesai dari setahun yang lalu, mengerti? Jangan ganggu aku lagi. Dan jangan bicara apa pun tentangku pada siapa pun."
Davina tersenyum sinis. "Kampu pikir dengan berpura-pura bekerja sebagai office boy dan bersikap manis akan ada yang menyukaimu?"
Bryan mendorong Davina ke dinding. Dia menatap tajam Davina. "Aku tidak peduli ada yang menyukaiku atau tidak. Aku hanya ingin bekerja di sini. Urus dirimu dan selingkuhan tololmu itu. Kita sudah selesai, Davina." Bryan mengatakannya dengan memberi penekanan pada setiap patah kata.
"Aku sudah putus dengan Xavier." ujar Davina.
Bryan tersenyum dingin. "Aku tidak peduli kamu masih bersamanya atau sudah putus. Aku tidak mudah melupakan luka yang kamu buat untukku, Davina. Aku berusah payah untuk mengobati lukaku sendiri." Bryan melesat pergi dengan rasa perih di hatinya yang masih membekas.
Davina mengembuskan napas. Sejujurnya, dia sangat menyesal karena telah mengkhianati Bryan. Sikap Bryan yang cenderung acuh tak acuh dan tujuan hidupnya yang tidak tentu arah membuat Davina ragu namun saat dia sudah menjalin hubungan dengan pria lain—Xavier, Davina baru menyadari kalau Bryan adalah adik dari Alex. Itulah kenapa Bryan terasa cuek saja dengan masalah finansial bahkan pria itu enggan bekerja di mana pun meskipun Davina merekomendasikan beberapa perusahaan.
Kalau saja dia tahu dari awal Bryan adalah adik dari Alex, Davina tidak akan berselingkuh dan menjalin hubungan dengan pria lain. Dan sejauh berhubungan dengan Bryan, Bryan tak sekali pun berkata kasar padanya meskipun saat itu Bryan sedang marah.
Davina menyesal karena salah menilai Xavier yang dianggapnya lebih baik dari Bryan nyatanya pria itu malah sering berkata kasar padanya. Sudah sebulan Davina memblokir Xavier. Dia tidak tahan dengan ucapan kasar Xavier. Kemarahan Xavier membuatnya ketakutan. Xavier bahkan sering memecahkan benda-benda di hadapannya saat sedang marah. Terkadang Xavier melampiaskan kemarahannya pada Davina padahal penyebab kemarahannya adalah atasan Xavier.
***
Hellowww, aku update lagi nih xixixi
Kalian udah nentuin bakal pilih siapa, Alex atau Bryan?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Husband
Romance"Aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Aku ingin menawarkan kontrak kerja sama sebagai pasangan suami-istri." Pupilku melebar. Apa tadi katanya? Apa aku tidak salah dengar? Aku merapatkan kedua tanganku karena mendadak aku merasa sangat din...