Emily.
Sebuah pesan dari bank swasta membuat lututku lemas. Tepat saat aku hendak pulang dari kantor. Aku bersimpuh saking lemasnya lututku. Aku tidak mengerti kenapa Tuhan membiarkan pria semacam John muncul dalam kehidupanku dan merenggut semuanya dariku. Dan betapa tololnya aku karena telah percaya padanya dengan sepenuh hatiku.
John melewatiku bersama Marina. Mereka tertawa-tawa riang. Aku tidak bisa menahan amarahku. Aku mengejarnya. Memukulnya berkali-kali hingga dia tersungkur. Kami menjadi pusat perhatian orang-orang. Marina berteriak histeris. Thalia mencoba meleraiku.
"Berengsek kamu, John! Keparat!" Segala sumpah serapah aku ucapkan tepat di depan wajah John yang babak beluk. "Kamu menggadaikan rumah peninggalan orang tuaku sebagai jaminan hutangmu. Kamu memakai identitasku untuk berhutang." Tangisku akhirnya tumpah. Aku tidak peduli kalau saat ini semua mata tertuju padaku.
"Emily." Thalia menarikku dan membawaku keluar setelah emosiku mereda sedikit. Sangat sedikit. "Ayo, kita tenangkan dirimu." Katanya.
" John... keparat itu."
Aku dan Thalia berpapasan dengan Alex.
Dia menatapku tanpa bertanya apa pun meskipun sekretarisnya ini tampak sangat berantakan dengan air mata yang membasahi pipiku.
Dia hanya menggeleng dengan wajah dinginnya dan berlalu begitu saja.
Bos macam apa itu? Benar-benar menjengkelkan.
"Kita cari tempat makan, Emily."
Kami duduk di sebuah kafe. Aku dan Thalia memesan espresso. Aku menenangkan diri dengan menyesap espresso.
"Setelah membawa Marina ke rumahmu apa yang dilakukannya lagi sampai kamu sangat marah, Emily?"
Aku menatap Thalia sesaat, kemudian mengambil ponsel dan menyodorkan pesan dari bank swasta. "John memakai identitasku sebagai peminjam dengan rumah sebagai jaminannya." kataku dengan suara bergetar.
Kedua daun bibir tipis Thalia terbuka. Matanya melebar. "Astaga..."
"John tidak pernah bayar hutangnya di bank. Bank akan menyita rumahku, Thalia." kataku dengan sesak di dada. Mataku mulai memerah lagi.
Thalia menggenggam tanganku erat. "Kamu bisa tinggal di rumahku dulu, Emily."
"John... aku ingin sekali membunuhnya. Entah dibuat apa uang yang dipinjamnya itu."
"Mungkin untuk Marina."
"Kenapa dia tidak menggunakan uang dari gajinya sih?! Kenapa harus menggunakan..." Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatnya lagi.
"John memang keparat!" Thalia mengumpat kesal.
Ponsel Thalia berdering. "Ah, aku harus pulang, Emily." Thalia menggenggam tanganku. "Nanti kamu pulang ke rumahku saja ya, kalau bank sudah menyita rumahmu. Tinggalah di rumahku."
Aku mengangguk. "Terima kasih, Thalia."
Thalia mengangguk dan meninggalkan aku sendirian. Aku menyesap espresso sembari menangis. "Aku akan membalasmu, John."
Seorang pria tiba-tiba menggeser kursi di depanku dan dia duduk di depanku. Dia mengenakan jaket kulit cokelat. Dia memiliki dagu belah dua dan mata warna cokelat yang terlihat agak ramah. Dia tersenyum padaku.
"Hai." sapanya.
"Siapa kamu?" Aku bertanya curiga.
"Aku yang seharusnya tanya kamu siapa?"
"Hah?" Apa dia pria sinting?
Dia memberikan sapu tangan warna merah. "Hapus dulu air matamu itu. Apa tidak malu kalau ada yang melihatmu menangis kaya begitu?"
Aku ragu meraih sapu tangannya. Dia pria asing. Aku tidak boleh percaya pada orang asing. Orang yang aku kenal dan sayang saja bisa menghancurkan hidupku apalagi orang asing yang tiba-tiba muncul begini.
Aku menghapus air mata di pipiku dengan kedua tanganku.
Dia menarik tangannya dan memasukkan sapu tangan berwarna merah itu ke saku jaket cokelatnya. "Hidup memang penuh kejutan ya." katanya santai dengan senyum seakan mengejekku.
"Kamu menguping pembicaraanku?" Aku melirik sekeliling. Para pengunjung tampak fokus pada makanan, minuman atau pun ponsel mereka. Ada juga yang mengobrol sambil sesekali tertawa.
"Ya, bagaimana ya, kamu bicara dengan nada keras. Tentu saja aku mendengarnya."
Bibirku bergerak-gerak tak keruan. "Dasar manusia tidak punya kerjaan! Apa kamu akan menguping orang-orang yang sedang menceritakan kesusahannya pada orang lain dan kamu akan mentertawakannya begitu, heh?"
Dia bertopang dagu. "Aisssshh! Aku ke sini untuk membantumu tapi juga menertawaimu." Dia tersenyum mengejek kepadaku.
"Aku tidak butuh bantuanmu!" aku mengambil tasku dan melangkah menjauhi pria itu. Tapi... dia memiliki wajah yang agak mirip seseorang. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan wajah siapa yang mirip dengannya. Pria itu melambaikan tangan padaku sembari tersenyum.
Aku membuang wajah dengan cepat. Siapa yang mirip dengannya ya? Menatap wajahnya membuatku mengingat seseorang tapi siapa. Ah, ingatanku memang payah. Dia hanya pria sinting yang mungkin berniat memanfaatkan situasiku yang sedang kacau untuk tidur dengannya. Ya, lihat saja wajahnya. Tersenyum pada orang asing dan menawarkan bantuan? Bukankah itu sangat mencurigakan. Pasti dia berniat untuk mencari teman tidur.
Sialan!
***
Karena banyak yang baca, vote dan komentar aku update chapter bagian dua nih?
Mau aku update lagi?
Boleh banget kok tinggal kasih komentar aja.Btw ada yang tahu siapa cowok asing yang deketin Emily ini? Wkwk asal tebak aja gak papa 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Husband
Romance"Aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Aku ingin menawarkan kontrak kerja sama sebagai pasangan suami-istri." Pupilku melebar. Apa tadi katanya? Apa aku tidak salah dengar? Aku merapatkan kedua tanganku karena mendadak aku merasa sangat din...