2. Benci Tapi Rindu

1.1K 141 2
                                    

Hari Sabtu lagi, waktunya update!! Selamat membaca 🥰

***

Safira bangun dari tidurnya dengan tidak semangat. Padahal hari ini harusnya menjadi hari yang menyenangkan karena ia akan bertemu dengan seorang sutradara sekaligus produser yang ingin mengangkat salah satu novelnya menjadi sebuah film. Tapi yang terjadi justru sejak dirinya membuka mata, ingatan tentang perdebatan di kantor Rama terus berputar bagai kaset rusak meski sudah dua hari berlalu.

Setelah memutuskan untuk pergi dari kantor Rama kala itu, Safira bertekat untuk sedikit menjauhi Rama. Memberi perhatian dan ketulusan pada pria itu hanya buang-buang waktu dan menyakiti diri sendiri. Safira tentu sangat sadar akan hal itu, oleh sebab itu ia memutuskan untuk sejenak mendetoks hati dan pikirannya dari manusia kaku dan dingin bernama Rama Adipura. Di hari pertama semua berjalan lancar, meski sesekali Safira hampir saja lupa akan tekadnya dan menghubungi pria itu–yang tentu saja berhasil dibatalkannya. Namun, baru hari kedua, Safira sudah mulai resah bahkan sejak dirinya baru bangun tidur di pagi hari yang cerah ini. Hatinya benar-benar lemah. Lemah!

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Safira. Ponsel yang ia letakkan di atas nakas di samping tempat tidur itu bergetar-getar sembari menderingkan reff dari lagu Bring Me to Life milik Evanescence. Lagu lama yang masih saja menjadi favoritnya.

"Halo, selamat pagi, Pak," sapa Safira pada seseorang di sebrang telepon.

"Ah, masih aja lo panggil gue Bapak. Sejak kapan gue nikah sama ibu lo?"

Safira terkekeh mendengarnya. "Lho, saya cuma ngikutin yang lain, Pak. Masa yang lain panggil Pak, saya beda sendiri," goda Safira dengan senyum jahil yang bebas ia lakukan sebab lawan bicaranya tidak mungkin bisa melihatnya.

"Gue batalin juga nih kontrak kita," balasnya–dengan bercanda tentu saja.

"Dih, nggak asik banget lo. Mainnya ngancem kerjaan."

"Gue bakal terus lakuin itu kalau lo masih ngotot sok formal banget sama gue."

"Iya... iya... sensian amat, sih. Nanti cepet tua, lho."

"Masa bodo, gue telepon bukan buat lo bapak-bapakin. Nanti jadi meeting, nggak?" Tanyanya dengan backsound bunyi gemeresik yang menandakan dia sedang melakukan hal lain sembari bertelepon dengan Safira.

"Jadi, dong."

"Kalau gitu nanti ketemunya sekalian lo jemput gue di bandara, ya. Jemput jam 9-an aja, gue ambil flight pagi dari Surabaya."

Safira memutar mata, lawan bicaranya ini sungguh terdengar bossy. Khas dirinya sekali. Sudah tahu begitu, tidak mau dipanggil dengan sebutan Bapak atau Pak. Sungguh jenis manusia tidak sadar diri.

"Ck! Minta jemput aja muter-muter dulu ngomongnya."

"Ya kan sekalian, Ra. Ya udah deh, bentar lagi gue boarding. Thanks, ya. Bye!" panggilan tertutup tanpa perlu menunggu balasan dari Safira. Kemudian ia melirik jam di ponselnya. Masih jam 06.00 dan temannya itu sudah berada di bandara. Super sekali!

Namanya Bara. Sebenarnya Batara, tapi dia bilang nama Bata terlalu aneh didengar dan nama Tara terlalu feminin di telinganya. Jadi ia memutuskan untuk selalu meperkenalkan diri pada orang baru sebagai Bara.

Bara bukan orang asing bagi Safira. Dia adalah teman mainnya selama masa SMP. Satu sekolah dan satu kompleks perumahan membuat mereka cukup dekat. Namun hanya tiga tahun  kedekatan mereka, hingga akhirnya Safira harus pindah karena satu dan lain hal setelah mereka lulus. Bertahun-tahun tidak bertemu, beberapa bulan lalu mereka kembali dipertemukan dalam sebuah talkshow yang diadakan salah satu universitas ternama di Jogja. Dari sanalah keinginan Bara untuk mengadaptasi novel yang Safira tulis menjadi sebuah film akhirnya terwujud.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang