14. Jangan Pergi

2.3K 173 13
                                    

Hari sudah sangat gelap ketika Safira membuka mata. Ia tidak menemukan siapapun di kamarnya. Benaknya bertanya-tanya, ke mana Rama dan Ibunya? Apa mereka pulang begitu saja, sama seperti saat mereka datang tadi?

Walaupun kakinya terasa seperti jely, namun Safira tetap berusaha untuk berjalan dengan benar. Tangannya berpegangan pada apapun yang ada di sekitarnya. Meski sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya, tetap saja rasanya seperti masih melayang-layang.

Setelah berhasil membuka pintu kamar, dilihatnya sosok menjulang yang sedang berdiri di balkon unit apartemennya sembari menghisap sebatang rokok. Dengan perlahan Safira berjalan mendekat, tepat pada pintu pembatas ruang tengah dan balkon ia berhenti. Pria itu tampak sangat menikmati waktunya bersama angin malam yang berembus meniup helaian rambutnya yang menjuntai di dahi.

"Mas," panggil Safira lemah.

Rama segera mematikan rokok dan membuang puntungnya ke pot bunga yang ada di sudut balkon.

"Kok bangun?" Rama berjalan menghampiri Safira. "Butuh sesuatu?"

Safira menggeleng, "Ibu mana?"

Rama memapah Safira yang masih lemah untuk duduk di sofa. "Ibu pulang duluan sama sopir. Saya ditugaskan buat jaga kamu."

Safira bersandar pada punggung sofa, mengamati wajah rupawan di sampingnya. "Sejak kapan kamu merokok, Mas?"

Rama tidak langsung menjawab. Matanya lebih dulu membalas tatapan Safira. Seolah saling berbicara melalui mata mereka. Rama bisa melihat bayangan dirinya di sana. Orang bilang, hal itu hanya terjadi di saat kita menatap mata seseorang yang begitu tulus mencintai kita. 

Rama tersenyup tipis, sangat tipis hingga Safira tak menyadarinya. "Sudah lama, tapi sejak ada Niana, saya kurangi. Sekarang sesekali aja kalau suntuk."

"Berarti sekarang lagi suntuk?" Tanya Safira.

"Lumayan, cukup untuk bikin saya pengen merokok."

"Mau cerita?" Safira memindahkan tumpuan tubuhnya pada lengan kokoh Rama, dan pria itu tak menolak seperti biasanya. 

Hal itu cukup membuat Safira heran. Namun gadis itu lebih memilih untuk tidak ambil pusing dan menikmati momen langka ini. Denyut di kepala yang menyiksanya perlahan mereda, digantikan oleh rasa nyaman yang diberikan bahu Rama.

Ia memejamkan mata, menikmati setiap detik dirinya berdekatan dengan Rama. Biasanya pria itu akan menghindar jika Safira melakukan skin ship dalam bentuk apapun. Bahkan Rama akan bergerak mundur di saat Safira sekedar ingin membenarkan posisi dasi. Pria itu tak akan membiarkan jarak mereka kurang dari sejengkal.

Entah apa yang merasuki Rama, malam ini dia berbeda. Sikapnya melunak, dan Safira suka. Kegamangan yang ia rasakan beberapa hari terakhir perlahan sirna. Entah ke mana perginya Safira yang marah dan kecewa beberapa hari terakhir. Hatinya dengan mudah menghangat mendapati Rama masih memiliki kepedulian padanya, meski hanya secuil.

"Jangan dipendam, bisa jadi penyakit, Mas."

"Kayak kamu, ya," sindir Rama

Safira terkekeh, "Iya. Aku juga heran kenapa bisa segininya. Bego banget ya, aku."

"Hmm.." Rama hanya bergumam menjawabnya.

"Mungkin karena aku terlalu mencintai kamu," Safira lupa kapan terakhir kalinya ia bersikap gengsi di hadapan Rama. Kalimat cinta begitu mudah terucap olehnya, meski pria itu tak pernah membalas sekalipun.

Rama menghela napas panjang, "Ra..."

"Aku tahu. Aku tahu kamu nggak bisa membalasnya, nggak perlu diulang lagi," Safira merubah posisi, tangannya melingkari tubuh Rama dan masuk ke dalam pelukannya. 

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang