12. Tak Pernah Ada Kita

1.8K 197 9
                                    

Pasti kalian bosen banget yaaa lihat aku minta maaf terus tiap update randomly kek sekarang wkwkwk. Tapi ya karna aku salah makanya aku minta maaf gaeeesss 🤭

Maaf ya karna nggak bisa tepatin janji upload rutin tiap Sabtu. Aku ngaku salah, kali ini alesannya nggak macem². Emang karena baru dapet ilham buat nulis hehehehe.

Semoga kalian suka part ini. Selamat membaca. Love u guys, always ❤️

****

"Anda mengusir saya dari apartemen tunangan saya sendiri?"

Bara terkekeh mendengar penuturan Rama, "Lucu banget dengar lo sebut Rara tunangan."

Rama menghempaskan napasnya kasar, ia tak ingin membalas Bara. Rama paham Bara hanya memancingnya agar emosi dan pergi. Ia tak akan kalah dengan trik kekanakan ini.

"Fine," ujar Rama tenang. "You stay, I stay," kemudian ia melangkahkan kaki menuju window seat dan mengistirahatkan diri di sana. Ia memandang jauh ke arah kendaraan-kendaraan yang berubah menjadi seperti miniatur bergerak di atas lintasan tamia.

Detik berganti menit, menit berlalu hingga hari mulai sore. Rama baru saja selesai mengabari Ibunya tentang kondisi Safira yang perlu pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit. Tak lama setelahnya, ia mendengar suara berbisik dari arah ranjang. Rama menoleh dan mendapati Safira tengah berusaha duduk bersandar pada head board dibantu oleh Bara.

"Sudah bangun?" Tanya Rama sembari mendekat pada Safira. Ia duduk sedikit jauh dari Bara di sisi lain ranjang, lalu memijat pelan telapak kaki gadis itu.

Safira hanya mengangguk lemah. "Kok kalian bisa di sini?"

"Lo nggak bisa dihubungi dari kemarin, gue pinjam kartu akses Shalom buat ke sini."

Setelah menerima penjelasan Bara, Safira beralih menatap Rama yang masih sibuk memijitnya perlahan, menimbulkan gelenyar aneh yang menggelitik perutnya.

"Ibu minta saya periksa kamu, katanya kamu sulit dihubungi beberapa hari ini. Dan ternyata firasat buruknya benar, saya temukan kamu pingsan di kamar mandi."

Safira ingat, sebelum kehilangan kesadaran, perut ya sakit setengah mati. Desakan untuk memuntahkan isi perutnya pun tak tertahankan.

"Kalau gitu kamu bisa pulang sekarang, saya yang akan bawa Safira ke rumah sakit," ujar Rama pada Bara.

Bara refleks menaikkan satu alisnya, menatap Rama sengit. "Kenapa nggak lo aja yang pulang?"

Safira yang merasakan tensi di sekitar mereka mulai meningkat, kemudian berusaha menengahi. "It's okay, Bar. Gue udah mendingan kok, lo pasti lagi sibuk-sibuknya buat persiapan shooting perdana bulan depan."

Bara memutar bola matanya kesal. Tipikal Safira sekali, padahal sudah berulang kali dikecewakan, dia tetap kekeuh bertahan di sisi tunangannya yang brengsek itu.

"Are you sure?" Tanya Bara memastikan.

Safira mengagguk, "Ada yang perlu gue bicarakan sama dia juga."

Giliran Bara yang mengangguk. Ia tidak bisa berbuat banyak, Safira dan kebucinannya terhadap Rama merupakan satu paket komplit yang tidak bisa dipisahkan.

"Ya udah, kalau gitu gue pamit. Jaga diri," Bara mendekatkan bibirnya pada daun telinga Safira, "Kalau si brengsek ini berulah lagi, telepon gue."

Safira terkikik geli, kemudian mengiyakan ucapan Bara agar sahabatnya itu tidak terlalu resah memikirkan keadaannya.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang