Safira pikir, setelah ciuman malam itu, hubungan mereka akan berubah. Nyatanya, tidak jauh beda. Rama hanya bersikap sedikit lebih lembut. Sedikit sekali.
Tapi Safira tetap bersyukur, kini Rama tak menolak sentuhannya lagi. Maksudnya bukan sentuhan-sentuhan nakal, walaupun terkadang juga ke arah sana. Setidaknya, sekarang Rama tidak menolak untuk dipeluk, dikecup, apalagi hanya sekedar membenarkan posisi dasinya.
Meski begitu, ekspresinya tetap datar. Sikapnya tetap kaku jika tidak sedang melakukan kegiatan panas mereka. Tidak terlalu jauh, memang. Hanya sekedar cumbuan singkat, atau kecupan mesra. Mereka benar-benar membatasi agar tidak kebablasan.
Seperti saat ini misalnya, mereka berdua terengah dengan posisi masih saling memeluk. Rama menghimpit Safira pada dinding ruang kerjanya di kantor. Ia menumpukan kepalanya pada puncak kepala Safira, sementara gadis itu sepenuhnya menyandarkan diri pada dinding sembari menikmati dekapan Rama.
Safira dan Rama masih menikmati dentum jantung yang tak beraturan akibat ciuman penuh gairah beberapa saat lalu, ketika dering ponsel menginterupsi mereka. Rama menyadari suara itu berasal dari ponsel di saku celananya. Ia melonggarkan dekapannya, kemudian mengecup singkat pelipis Safira.
"Saya angkat telepon dulu," setelah melihat siapa peneleponnya, Rama berjalan menjauh hingga menghilang di balik pintu ruangannya. Safira mengernyit heran, kenapa mengangkat telepon saja harus ke luar ruangan?
Tidak ingin ambil pusing, Safira lebih memilih untuk memperbaiki penampilannya yang ia yakini pasti sudah acak-acakan. Dan benar saja, ia mendapati dua kancing atas summer dress yang dikenakannya sudah terbuka saat berkaca di toilet. Ditambah dua kiss mark di belakang telinga. Belum lagi bibirnya yang membengkak, rambut yang tidak lagi rapi, dan lip tint nya yang tak bersisa. Ia meringis melihat keadaannya saat ini, Rama ternyata juga bisa sangat ganas.
Sembari merapikan penampilannya, Safira mengingat-ingat bagaimana ia bertemu Rama untuk pertama kalinya. Ia tersenyum geli, dulu Rama bahkan sangat sulit tersenyum. Yaah, meski sampai sekarang pun sulit, tapi setidaknya lelaki itu tidak lagi sedingin dulu.
Namun senyum di bibir Safira mendadak sirna. Selama seminggu ini, sikap Rama memang berubah menjadi lebih baik. Perlahan tapi pasti pria itu mulai mengendurkan pertahanannya. Tapi bagaimana dengan hubungan mereka? Apa hubungan ini tetap berjalan sesuai rencana awal, ataukah ia bisa sedikit berharap untuk menjalani hubungan normal selayaknya sepasang kekasih sungguhan?
Safira termenung. Rama memang melunak, tapi tidak ada ungkapan apapun darinya. Apakah Rama sudah mulai ada rasa padanya? Atau ini hanya gairah tanpa cinta? Apa dia harus bertanya dan memastikan sendiri bagaimana perasaan Rama yang sebenarnya?
Tangan Safira mencengkram tepi wastafel dengan erat. Ia memejamkan mata sembari menggeleng cepat.
"Jangan over thinking, Ra! Nikmati aja yang terjadi sekarang. Ingat! Jangan menuntut lebih atau Mas Rama bisa menjauh lagi," batin Safira.
Safira benar-benar ketakutan. Ia tidak ingin Rama pergi darinya hanya karena dia mengungkit-ungkit soal perasaan.
"Seperti ini saja cukup. Ya, cukup."
Safira mengulang kata-kata tersebut seperti merapalkan mantra. Seolah kata-kata itu mengandung kekuatan magis yang mampu mempengaruhinya.
"Kamu kenapa?"
Safira berjengit kaget. Ia tidak mendengar suara langkah kaki mendekat, tapi tiba-tiba Rama sudah berada di belakangnya. Meski suaranya tidak nyaring, tetap saja mengagetkan.
"Maaf, saya nggak bermaksud bikin kamu kaget," ujar Rama. "Kamu kenapa? Ada yang sakit?" Rama cukup cemas melihat Safira dengan posisi tengah meremas tepian wastafel hingga ujung jemarinya memutih. Ia khawatir gadis itu sakit lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...