Safira terbangun dengan tenggorokan kering. Hari masih gelap, ia mengetuk layar ponselnya untuk melihat jam. Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Berarti ia baru tidur dua jam. Dan seingatnya, Rama belum pulang saat dirinya tertidur.
Gadis itu melihat ke arah nakas, tidak ada air. Ia terpaksa harus ke dapur di tengah malam begini. Dengan berat hati, ia melangkahkan kaki untuk menghilangkan dahaganya. Namun saat kakinya menapak anak tangga terakhir, sudut matanya menangkap sebuah cahaya redup dari arah perpustakaan keluarga Adipura.
Melupakan niat awalnya untuk mengambil minum di dapur, Safira justru melangkah ke arah perpustakaan. Kakinya yang telanjang bergerak ringan menapak di lantai yang dingin. Ruang perpustakaan itu terbuka, sebagian besar dindingnya berbahan kaca dan tidak memiliki pintu. Aksesnya langsung terhubung dengan ruang tengah. Buku-buku tampak rapi tertata di rak yang diletakkan di tepi ruangan. Di tengahnya terdapat satu set sofa lengkap dengan mejanya yang disediakan agar membaca jadi lebih nyaman di sana. Dan Safira menemukan Rama tengah duduk diam di sana, memandang kosong ke arah taman belakang yang bisa dilihat melalui dinding kaca.
"Mas," panggilnya lirih ketika jarak mereka menipis. Safira mengernyit saat ia lihat ada sebotol wine di meja, juga gelas yang telah kosong.
Rama mengalihkan pandangannya dari taman belakang. Pria itu tersenyum simpul saat melihat Safira berada di sana. Ia mengulurkan tangan meminta Safira datang padanya.
Safira tak keberatan, disambutnya uluran tangan Rama dan duduk di sebelahnya. Rama menatap Safira lekat, dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Duduknya sedikit miring menghadap Safira, satu kakinya tertekuk di atas sofa, sementara kaki lainnya menjutai ke lantai. Satu tangan ia gunakan untuk menopang kepala di punggung sofa, dan tangan lainnya menggenggam tangan Safira. Sesekali Rama menyapukan ibu jarinya untuk membelai punggung tangan gadis itu.
"Mas mabuk?" Tanya Safira tak yakin. Rama cukup kuat minum, tapi ia tidak tahu sudah berapa gelas wine yang ditenggaknya.
"Sedikit," jawabnya yang sama sekali tidak Safira percaya. Wajah pria itu sudah sayu, matanya terlihat sangat berat untuk dipaksa terbuka.
"Mas Rama lagi ada masalah, ya?" Tanya Safira. Namun tak ada jawaban dari pria yang diajaknya bicara.
Perlahan Rama bergerak semakin dekat. Ia mengulurkan tangan dan merengkuh Safira ke dalam pelukannya. Rama memejamkan mata, menikmati hangat tubuh tunangannya, juga aroma menenangkan yang berasal dari rambutnya.
Safira membalas pelukan Rama dengan lembut. Tangannya membelai punggung Rama teratur agar pria itu nyaman. "Mas Rama kenapa?"
Masih tak ada jawaban.
"Masalah kantor?"
Rama masih tutup mulut, namun Safira bisa merasakan gelengan samar. Mungkin itu jawabannya, bukan masalah kantor.
"Saya harus gimana, Ra?" Tanya Rama terdengar frustrasi.
Sekalinya buka suara, pertanyaan Rama membingungkan Safira. Harus bagaimana apanya? Soal apa yang Rama pertanyakan?
"Istirahat aja dulu, Mas. Jangan terlalu dipikirkan. Masih ada hari esok," Safira tahu, sulit untuk berkomunikasi dengan Rama yang tengah mabuk. Ia berusaha terus menenangkan kekalutan pria itu.
Rama semakin mengeratkan pelukannya, lalu melepaskannya perlahan. Ia tatap wajah Safira yang kabur karena pandangannya mulai tidak fokus. Senyum manis terukir di wajahnya, senyum yang ia rindukan. Tanpa pikir panjang ia mendaratkan kecupan.
Awalnya hanya kecupan-kecupan singkat, lalu menjadi ciuman lembut, kemudian berubah menjadi lumatan panas yang diselimuti gairah. Rama mengangkat Safira agar duduk di pangkuannya sambil terus menikmati bibir gadis itu. Tak lama, mereka kehabisan napas dan memberi jarak. Di saat Safira masih sibuk mengais oksigen, dengan tiba-tiba Rama merebahkannya ke sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...