Okay, jadwal update makin random karena aku sekarang kerja.
Aku harap kalian tetep mau baca ceritaku ya guys, ini udah masuk ke konflik yang ada di cerpen (lapak sebelah). Dan kasih tahu aku kalo ada ceritanya yg ga nyambung wkwkwk.
I love you so much all my readers, dan makin cinta lagi kalo kalian dengan senang hati vote dan komen di cerita²ku. 😘😘
***
Setelah membuka kedua matanya, yang pertama kali Safira sadari adalah, tubuhnya sudah terbaring di atas sofa dan hari mulai beranjak siang. Matanya memicing ketika sinar matahari menyapa. ia menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, namun ia tak menemukan Bara di manapun.
Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu kamar mandi yang berada di dekat dapur dan Bara muncul dari sana. Ia yang sudah berpakaian rapi dengan gaya kasualnya, berjalan menuju sofa tempat Safira terduduk linglung.
"Morning," sapa Bara.
"Gue tidur di sofa?" Tanya Safira yang tampak benar-benar linglung.
"Nggak inget lo habis nangis sampai subuh?"
Safira memutar kembali memorinya. Ia sedikit ingat, namun samar. Yang sangat jelas terlintas di kepala justru saat ia bertemu papanya. Dadanya mendadak sesak mengingat itu hanyalah mimpi.
"Aku mimpi papa?" Gumam Safira bicara pada dirinya sendiri. Namun hal itu turut sampai ke telinga Bara yang kini duduk di sampingnya.
"You miss him?" Tanya Bara sembari merangkul pundak Safira.
"Banget. Udah lama papa nggak dateng ke mimpi gue."
"Kayaknya bokap juga kangen lo," ujar Bara menenangkan. "Ra..." Panggilnya kemudian, membuat sang empunya nama menoleh. "Boleh gue nanya sesuatu?
Safira mengangguk.
"Apa kepergian lo waktu SMP ada kaitannya sama kasus Om Rahadian?"
Mendengar nama sang papa diucapkan, membuat Safira meremang. Nama yang begitu ia rindukan, nama yang sudah jarang ia dengar kembali.
Sekelebat ingatan masa lalunya lewat begitu saja. Tawa dan canda yang begitu riang tiba-tiba tersapu badai hingga menjadi tangis dan jeritan pilu. Safira sangat ingat detik-detik terakhir ia kehilangan sang papa untuk selamanya.
"Ya, apa lagi?" Jawab Safira pendek. Tangannya mulai berkeringat dingin. Sejujurnya, ia enggan membahas kasus papanya bertahun-tahun lalu itu.
"Udah dari awal gue pengen nanya ini ke lo. Kenapa lo nggak ada kabar sama sekali, Ra?
"Buat mikirin besok makan aja gue nggak sanggup, Bar. Hidup gue runtuh dalam sekejap sampai nggak ada yang tersisa. Bahkan remahan pun nggak ada. Semua yang berkaitan sama papa disita, rumah, kantor, rekening bank, bahkan orang-orang yang kontak sama papa juga diperiksa," suara Safira terdengar tenang. Namun jari-jemarinya gemetar, tangannya semakin terasa dingin.
Bara mendesah resah, ia tak bisa membayangkan betapa sahabatnya ini pasti begitu terluka. Dan di atas itu semua, Safira selama ini sendirian menahan sakitnya.
"Gue khawatir banget waktu itu, Ra."
Sesaat Bara tertegun ketika mendapati tubuh dalam rangkulannya ini sedikit menggigil. Ia lirik tangan Safira yang saling bertaut satu sama lain. Tautan itu begitu erat hingga jari-jarinya memutih.
"Ra..." Digenggamnya tangan Safira yang terasa dingin. Pandangan mata mereka bertemu saat safira menoleh. Tatapan Bara menyiratkan pertanyaan 'ada apa?' padanya. Safira tersenyum lembut, namun gagal menenangkan Bara yang terlanjur cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
Literatura FemininaRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...