Ada banyak—sangat banyak—alasan yang Safira miliki untuk pergi dari Rama. Namun, seperti lirik lagu yang Safira dengarkan saat ini, hanya butuh satu alasan saja yang mampu membuat dirinya bertahan di sisi Rama. Keinginannya untuk bisa bersama Rama lebih besar dari rasa sakitnya. Ketakutan tak bisa lagi melihat Rama lebih besar daripada rasa kecewanya. Maka setiap kali Rama menorehkan luka, akan ia telan bulat-bulat lara di hatinya.
Safira menatap lekat pada sosok cantik di cermin. Masih terlihat pucat hanya dengan foundation tipis yang melapisi kulit wajahnya. Belum ada sapuan bedak atau perlengkapan make up lainnya. Hari ini hari ulang tahun Ayah Hendra. Bukan hanya itu yang membuat Safira bersemangat, tapi juga rencana kencannya bersama Rama. Kencan berkedok mencari kado untuk Ayah, sebenarnya.
Gadis itu sudah akan menyapukan spons bedak ke wajahnya saat ponselnya berdering nyaring. Nama Bara menari-nari di sana. Safira yang sedang dalam mood baik hari ini, mengangkatnya melalui airpods dengan senyum mengembang.
"Hai, Bar. What's up?"
"Girang banget, Buuunnd,"
Safira memutar bola matanya sebal. "Rese banget, sih, lo. Udah untung nggak gue maki pas angkat telepon."
Terdengar gelak tawa Bara di sebrang sana. Safira mendengus dibuatnya. "Ya lagian tumben banget sih angkat telepon girang banget kayak tante gatel?"
"Duuhh, basa-basi lo basi banget, tahu nggak. Straight to the point aja, ngapain telepon? Mood gue rusak gara-gara lo!"
Bara tergelak lagi. Sepertinya dia sangat senang melihat—atau kini mendengar—Safira kesal karena kejahilannya. "Santai dong, Ra. Gue cuma mau nanyain jadwal lo hari ini. Schedule gue tiba-tiba ada yang di-cancel. So, can we meet today? Ada beberapa hal yang mau gue bahas sebelum kita meeting full team."
Safira melirik jam tangannya, masih pukul setengah sepuluh pagi. Sama seperti kemarin, Safira meminta Rama untuk menjemputnya pukul satu siang. Kira-kira masih ada cukup waktu untuk meeting dengan Bara di cafe bawah apartemennya.
"Bisa, sih. Tapi nggak lama. Jam satu gue ada janji. Kita ketemu di cafe bawah apart gue aja, gimana?"
"Okay, deh. Ntar gue chat kalau udah sampe TKP. See you there."
"See you..."
Setelah sambungan telepon terputus, Safira bergegas menyelesaikan make up nya dan bersiap untuk meeting dengan Bara.
Bara sudah menunggu saat Safira memasuki cafe. Lelaki itu tersenyum dan melambai ke arahnya. Dia datang dengan pakaian santai, celana joger biru dongker dipadu dengan kaos slimfit berwarna putih. Hanya dengan pakaian sederhana—yang sudah pasti harganya tidak sederhana—Bara mampu membuat para gadis dan juga pria 'belok' terpikat. Tapi nampaknya Safira sudah kebal. Bertahun-tahun berteman membuatnya imun terhadap pesona Bara.
"Nggak lama kan, nunggunya?" Tanya Safira setelah mereka duduk berhadapan.
"Santai, baru juga sepuluh menit. Seharian pun gue jabanin demi lo."
Safira terkekeh, "gimana... gimana? Project aman?"
Bara mengangguk mantap, "Jadi gini, rencananya gue mau lo bener-bener ikut terlibat, Ra. Nggak cuma di balik layar, tapi di beberapa scene juga," Bara menyodorkan sebendel kertas putih pada Safira. "Ini naskah yang dibuat sama tim gue. Udah gue review semalem. Lo periksa dulu, siapa tahu lo mau nyumbang revisi."
Sagira mengamati naskah di tangannya. Dibukanya lembar pertama, lembar kedua, hingga lembar-lembar selanjutnya. "Pemerannya jadi Reza Rahadian sama Raline Shah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...