One day in 2020...
Taksi yang Safira tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah yang berlokasi di Kota Batu. Sang Mama, Palupi, sedang berdiri berkacak pinggang sembari memberi arahan pada orang-orang yang membantu proses pindahannya.
"Mah..." Panggil Safira.
"Lho, kok nggak ngabarin sih kalau udah sampai. Kan bisa Mama jemput di stasiun," ujar Palupi sembari memeluk dan mencium kedua sisi pipi anaknya.
"Nggak apa-apa, Mah. Santai... Mama kan lagi sibuk pindahan."
Sudah satu minggu Palupi menempati rumah barunya di Batu, namun belum banyak perabotan di sana. Pengiriman barang-barang dari tempat tinggal lamanya di Kalimantan ternyata membutuhkan waktu lama.
Palupi memutuskan untuk kembali ke Jawa setelah lama merantau ke luar pulau. Semenjak putri tunggalnya, Safira, kembali lebih dulu ke Pulau Jawa beberapa tahun lalu, wanita itu hidup sendiri di perantauan. Namun berbeda dengan Safira yang memilih kembali menetap di Jakarta, Palupi masih enggan menetap di kota yang menyimpan banyak kenangan juga luka di masa lalunya itu. Maka ia memutuskan untuk tinggal di Kota Batu. Suasananya yang masih asri dan lingkungannya yang damai membuatnya nyaman berada di kota itu.
"Dari stasiun langsung ke sini?" Tanya Palupi seraya menggiring Safira masuk ke dalam rumah. Rumah dua latai bergaya klasik itu cukup luas dengan halaman belakang yang tak kalah besar. Palupi sengaja membeli rumah bergaya vila agar merasa seperti liburan setiap hari.
"Iya, Ma. Mau ke mana lagi? Rara nggak tahu daerah sini. Yang ada malah tersesat."
Palupi tergelak, "Iya, sih. Kamu udah makan, Sayang?"
"Udah, Ma. Tadi makam di kereta."
"Ya udah, kalau gitu kamu bersih-bersih badan dulu, gih. Oh, ya. Nanti malam mau ada teman Mama berkunjung. Kamu bantu Mama siap-siap, ya. Mama mau menjamu mereka makan malam."
"Siap, Mamaku sayang! Kamar Rara di mana?"
***
Semua masakan telah siap di atas meja makan. Tinggal menunggu kedatangan tamu yang Palupi maksud. Safira sedang memoleskan liptint di depan cermin kamar mandi dekat dapur saat suara dering bell berbunyi. Palupi segera membukakan pintu karena belum ada asisten rumah tangga di sana. Terdengar pekikan gembira di depan sana, membuat Safira penasaran siapa sebenarnya tamu yang berkunjung.
Langkah kaki membawa Safira ke ruang tamu. Di sana sudah ada empat orang termasuk Mamanya. Tiga orang lainnya adalah tamu sang Mama. Mereka tampak seperti satu keluarga, sepasang suami istri paruh baya yang masih tampak cantik dan tampan di usia mereka yang tak bisa dikatakan muda. Dan seorang pria yang jauh lebih muda—yang Safira duga pasti itu anak mereka. Pria itu sangat tampan dengan tubuh tegapnya, hingga membuat Safira terpana dan jantungnya bekerja lebih cepat.
"Ran, ini Rara, " ujar Palupi pada sosok wanita yang duduk di sebelahnya. "Ra, ini Tante Rani yang dulu sering main ke rumah. Inget, nggak? Yang ini suaminya, Om Hendra Adipura."
"Duh, Rara udah gede banget, ya. Makin cantik juga," puji Rani.
"Udah gede dong, Tante. Rara udah dua tiga," jawab Rara sembari menyalami satu per satu Tamu Mamanya. Termasuk sang anak yang terlihat dingin dan kaku. "Safira," ujar Safira memperkenalkan diri kala tiba gilirannya menyalami pria itu.
"Rama," jawab pria itu singkat. Tatapan matanya seperti akan mengeluarkan laser, terlalu intens hingga membuat Safira kepanasan.
Tak lama kemudian, mereka semua berjalan menuju ruang makan. Safira berjalan beriringan dengan Rani yang seperti tak mau jauh darinya. Selama makan malam berlangsung, Rani tak henti melontarkan banyak candaan dan pertanyaan untuk Safira. Safira sendiri tidak merasa keberatan, karena Rani sangat baik dan lemah lembut. Namun ia jadi merasa seperti calon menantu yang sedang diinterogasi oleh calon mertua.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...