Hola guuuyyyyysss, sebelumnya mau minta maaf lahir batin dulu sama temen-temen reader aku yang setia baca cerita-ceritaku. Semoga kita senantiasa diberi berkah yang melimpah yaaaa. Aamiin 🙏🏻🙏🏻
Maaf banget baru update wkwkw, vibenya masih vibe liburan, bikin aku terlenaaaa. Semoga suka yaaa, jangan bosen baca ceritaku. Jangan cape nunggu kerandoman update-ku jugaaa wkwkw.
As always, i luv u gaaeess ❤️ Jangan lupa vote dan komen 😘😘
***
Siang ini keadaan di kantor begitu tenang. Tanpa sadar Rama melirik jam yang melingkar di tangannya entah untuk yang ke-berapa kali. Kemudian ia melirik pintu yang sejak tadi tertutup, hanya sekretarisnya yang beberapa kali masuk untuk meminta tanda tangan atau memastikan sesuatu. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga melirik ponselnya yang hari ini sepi tanpa ada satupun notifikasi.
Baru Rama sadari bahwa beberapa hari terakhir sejak pertengkaran mereka, ia tidak menerima notifikasi satupun di ponselnya dari Safira. Bukan berarti Rama menunggu ada notifikasi darinya, hanya saja ini tidak seperti biasanya. Hampir setiap hari wanita itu selalu menghubunginya via chat ataupun panggilan telepon, juga tidak ada lagi kehadiran Safira setiap makan siang.
Rama menggelengkan kepalanya, tak ingin memikirkan lebih jauh mengenai wanita yang berstatus sebagai tunangannya tersebut. Memikirkan masalah mereka hanya membuat kepalanya pening. Lagipula selama ini ia selalu merasa risih jika Safira terus merecokinya, jadi untuk apa ia harus merasa kehilangan? Justru seharusnya ia merasa lega.
Setelah itu Rama memutuskan untuk keluar mencari makan siang, namun dering ponselnya menahannya di tempat. Tak perlu melihat panggilan dari siapa yang masuk, ia telah mengatur nada dering tersendiri, khusus untuk sang Ibu.
"Ya, Bu?" Tanya Rama usai mengucapkan salam.
"Ram, kamu sibuk, nggak?" Tanya Rani di sebrang sana.
"Nggak terlalu, sih. Kenapa, Bu?"
"Ibu minta tolong, Ram. Tolong cek Rara di apartemennya, ya. Beberapa hari ini dia sulit dihubungi. Baru tadi Rara angkat telepon Ibu, tapi dia meracau nggak jelas kayak orang ngigau. Ibu khawatir dia sakit dan sendirian."
Safira juga nggak menghubungi ibu? Batin Rama heran.
Rama menghela napas. Mendengar ibunya yang begitu khawatir, hati Rama turut terusik. Tidak hanya dirinya, Safira juga tidak menghubungi Ibunya. Apa karena pertengkaran hari itu? Tapi Safira jelas sudah mendapatkan apa yang dia mau.
Shit! Umpat Rama tanpa suara. Apa jangan-jangan Safira tahu soal kepergianku ke Surabaya? Batinnya.
"Bu, Safira nggak ada bilang macam-macam ke Ibu, kan?" tanya Rama khawatir. Ia takut Safira benar-benar akan membatalkan pernikahan mereka melalui Ibunya.
"Bilang macam-macam gimana, tho, Ram? Ibu aja susah banget hubungi dia, makanya minta tolong kamu tengokin Rara. Kalau Ibu masih sesehat dulu, Ibu pasti berangkat sendiri dari tadi."
Pria itu mendesah lega, "Iya, Bu. Nanti Rama cek ke apartemennya."
"Jangan nanti-nanti, Rama! Takutnya Rara beneran sakit, kasihan dia."
Rama menggaruk pelipisnya yang tak gatal, "Iya, Rama berangkat sekarang."
"Ya udah, kalau bisa kamu beli makanan dulu sebelum ke apartemen Rara, ya. Takutnya dia belum makan."
Rama berdecak dalam hati, saat ini dirinya pun belum makan. Tapi Ibunya justru lebih memikirkan sang calon menantu.
"Iya, Bu," jawab Rama singkat sebelum memberi salam untuk mengakhiri panggilan telepon dengan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...