Holaaaaaa!!!! Lama banget ngga up astaga! 🤣 Kayak udah berabad abad gasiii wkwk. Maaf yaa, aku abis naik rollercoaster soalnya 🤭
Enjoy the story ya, guys. Jangan lupa follow, vote, dan komen yang banyak!
Btw, pengen deh ngasih target kayak author lain biar yg follow, vote, sama komen banyak. Tapi tapi tapi, aku aja update nya random kok pake sok sokan mau ngasih target wkwkwk. Yaudah lah ya, seikhlasnya kalian follow, vote, dan komen ajaaa. Aku tau kalo memang tulisanku layak baca, kalian pasti follow, vote, dan komen dengan sendirnya.
Sayang kalian!! ❤️
Ps: kalau ada alur yg ga nyambung, komen ya guys. Saking lamanya kutinggal, aku jd lupa alurnya wkwk
****
Dua hari berlalu sejak malam itu. Safira berusaha mengabaikan segala masalah pribadi yang ia punya, dan fokus melanjutkan pekerjaannya. Meski dua hari ini ponselnya selalu penuh dengan notifikasi dari Rama, namun sebisa mungkin Safira tidak mengacuhkannya.
Yogyakarta. Kota dengan aura magis yang menurut Safira mampu membuat siapa saja yang berkunjung mampu 'jatuh cinta pada pandangan pertama' pada budaya dan segala keindahannya. Meskipun bukan kunjungan pertamanya, tapi Safira selalu berhasil dibuat berdecak kagum. Apalagi pantainya yang mempesona.
Berkat Yogyakarta, mudah baginya untuk mengabaikan setiap pesan dan panggilan dari Rama. Seperti kali ini, debur ombak dan angin laut lebih menarik ketimbang merespon pesan-pesan yang Rama kirimkan. Menikmati sepoi angin dengan mata terpejam lebih menyenangkan.
"Hp lo bunyi mulu dari tadi."
Suara berat yang sudah sangat Safira kenal menyapa telinganya. Ia tersenyum, lalu membuka mata. Gadis itu menoleh ke arah suara, kemudian mereka duduk bersisian di tepi pantai. Beralaskan pasir putih dan beratapkan langit senja. Guratan jingga terlukis apik di sana.
"Udah kelar take-nya? Kurang berapa scene lagi hari ini?"
Bukan tanpa alasan Safira berada di Yogyakarta, bukan hanya karena pelarian. Ia berada di kota pelajar tersebut untuk melanjutkan project-nya bersama Bara. Bara benar-benar totalitas dalam mem-film-kan novel karya Safira. Syuting di 3 kota, dan Yogyakarta merupakan kota terakhir setelah sebelumnya mengambil scene di Jakarta dan Bandung.
Bahkan, Safira juga mendapat bagian. Gadis itu mendapat peran kecil tapi penting dalam film-nya. Menjadi seorang sahabat dari karakter utama, tidak sulit memainkan perannya. Karena ia cukup mereka ulang bagaimana persahabatannya bersama Shalom selama ini.
"Kurang sedikit lagi, lah. Tergantung nanti lancar atau engga."
"Istirahat dulu, Bar. Dari tadi lo yang paling sibuk."
"Ini lagi istirahat, anak-anak juga belum pada mandi, tuh. Biar mereka bebersih dulu, deh."
"Sip lah."
"Hp lo nggak nge-lag tuh di bom notif begitu?"
Safira mengedikkan bahu tanpa mau menjawab.
"Lo masih diemin dia?"
"Gue lagi berusaha berpikir jernih tanpa gangguan. Kalau masih ada dia, di manapun dan dalam bentuk apapun, gue suka nggak rasional."
"Baru sadar, lo?" Ejek Bara dengan dengusan geli.
Safira mencubit lengan Bara yang ternyata sulit untuk dicubit karena otot kerasnya.
"Kalau gue jadi lo, udah gue tinggalin dia di detik pertama dia ngajak gue buat playing pretend di depan nyokapnya."
"You can say that because you weren't standing in my shoes. It was just happened, because i love him."
"I don't think i want to stand in your shoes anyway, karena gue nggak mau menyakiti diri gue sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...