Safira baru saja menurunkan Bara rumahnya. Setelah insiden bertemu Rama dan Mantan istri beserta anak mereka di bandara, Safira dan Bara memutuskan untuk mengganti tempat meeting mereka. Meeting berjalan lumayan lancar meski Bara harus bersikap sesabar mungkin saat Safira mulai kehilangan fokus dan melamun. Setelah mengantar Bara pulang, ia kembali mengarungi jalanan untuk pulang ke apartemennya sendiri di kawasan Sudirman. Tanpa sadar, Safira sudah 35 menit berkeliling tak tentu arah. Cukup lama ia berhenti di depan sebuah cafe yang belum pernah ia datangi, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke tujuan awalnya. Pulang.
Entah sudah berapa lama, Safira akhirnya sampai di parking lot gedung apartemennya. Ia merasa waktu berjalan lambat dan seperti ada bongkahan batu besar yang menindih dadanya. Terasa sesak dan berat. Di sisi lain, pikirannya hampa. Safira tak sanggup berpikir bagaimana seharusnya ia bereaksi. Hanya diam dan diam saja sepanjang perjalanan. Seperti baru saja mengalami guncangan batin melihat kebersamaan Rama dan keluarga kecilnya, atau mantan? Rama dan Karina memang sudah berpisah, tapi siapapun yang melihat kebersamaan mereka di bandara tadi, pasti akan berpikiran sama dengan Safira. Rama, Karina, dan Niana, terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia. Hatinya tak dapat menampik, ia cemburu, sangat cemburu. Matanya memanas, dan cairan bening mulai berkumpul di pelupuk matanya.
Safira menunduk, menyandarkan dahinya pada roda kemudi. Tangannya mencengkeram benda bulat itu erat-erat. Berharap dengan begitu hatinya bisa lega. Namun harapan tinggal harapan, alih-alih lega, Safira justru merasa semakin sesak. Terutama saat kilasan-kilasan ingatan tentang kejadian di bandara melintas.
Kenapa mencintai Rama harus sesakit ini? Safira tipikal perempuan yang tidak mudah jatuh cinta, tapi begitu bertemu seseorang yang mampu mencuri hatinya, maka dia akan memberikan seluruh hidupnya untuk pria itu. Sama seperti yang sedang ia lakukan untuk Rama. Adalah sebuah kebodohan ia terlibat dalam permainan yang pria itu susun demi Ibunya. Dan kebodohan lain ketika Safira justru melibatkan hati serta terus mengharapkan balasan.
Tangis Safira semakin menjadi. Ia merintih, meski lirih, namun rintihan itu menunjukkan seberapa besar sakit hatinya. Dengan tangan gemetar, diraihnya ponsel yang masih berada di dalam tasnya. Jari-jemarinya segera berselancar di atas layar untuk mencari nomor Shalom, kemudian mendialnya.
"Halo, Ra?"
"S-sha..." Safira sesenggukan hingga sulit baginya hanya unyuk menyebut nama sahabatnya itu.
Shalom yang mendengar Safira menangis mendadak panik, tapi untungnya ia bisa menguasai keadaan dengan cepat. Bukan sekali dua kali Safira meneleponnya dalam keadaan kacau seperti ini. Dan tentu saja sudah bisa ditebak karena alasan yang sama. Rama.
"It's okay, nangis aja dulu sampai lo puas, Ra."
Setelah beberapa menit melanjutkan tangisnya, akhirnya Safira merasa lega. Meski blelum 100%.
"Well, gimana? Udah enakan?"
Safira mengangguk, lupa bahwa Shalom tidak bisa melihatnya di sebrang sana.
"Jadi kenapa lagi kali ini?" Tanya Shalom tanpa basa-basi.
"Rama and his ex," jawab Safira singkat. Ia masih terlalu sakit hati untuk bercerita.
"Do you want me to come?"
"Can you?"
"Of course! Lo lagi di mana?
"Apart," jawab Safira lemah, masih dengan napasnya yang tersendat-sendat.
"Okay, see you in 10 minutes. Bye!" Tanpa menunggu jawaban dari Safira, Shalom bergegas menuju apartemen sahabatnya itu. Di saat-saat terapuhnya, Safira butuh seseorang untuk bersandar. Dan hanya Shalom yang bisa, jelas karena Rani dan Palupi adalah dua orang yang masuk daftar hitam tempat curhatnya tentang Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
ChickLitRama Adipura terpaksa bertunangan dengan seorang penulis novel terkenal, Safira Sudrajad. Perjodohan. Klise, memang. Ia tidak dapat menolak sebab kesehatan Ibunya sangat rawan sejak terserang stroke. Tak ada pilihan lain selain berkata "Iya" demi sa...