_This Is Real_

44 7 2
                                    

Mengalihkan pandangan dari layar ponsel kepada saudaranya,  Brian. Pria muda itu tidak ingin duduk dekat dengannya dan memilih berdiri, menyandarkan punggung di tiang sambil sibuk melamun melihat ke arah kolam renang.

"Kau tahu Brian, apa yang diinginkan kedua orang tua kita?" Tanyanya memecahkan kesunyian sekitar.

Mengajak Brian untuk bersantai di halaman belakang rumah kedua orang tua mereka tentu saja setelah acara makan malam selesai. Sementara istrinya mengobrol hangat bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga.

"Membuatku bergabung sama Theresa-La Singapore."

"Aku bahkan Jared setuju untuk usulan tersebut. Apa yang Ayah katakan tadi adalah sesuatu yang benar. Kamu tidak bisa hanya terus membanggakan Adaire Niels, karena itu tidak sesuai dengan gelar pendidikan telah kamu raih, saudaraku."

Brian menatapnya sebelum senyum lebar itu dia lihat. Seakan sudah bisa menebak apa akan dirinya dengar selanjutnya karena topik pembahasan seperti ini bukan kali pertama terjadi.

"Aku terlalu mencintai Adaire Niels bahkan sejak memasuki usia remaja. Bangunan klasik tersebut menjadi satu-satunya peninggalan Kakek dan Nenek yang membuatku tertarik, pengecualian Theresa-La Singapore. Kau bahkan sudah tahu jawabannya Peter dan itu akan selalu sama. Aku tidak akan meninggalkan apa yang menjadi hobiku walau bisnis aku kembangkan ini, masih sangat jauh dan tidak membuat keluarga kita bangga. Tapi setidaknya Adaire Niels cukup terkenal di Singapura kenapa? Karena bangunan itu menjadi satu-satunya bangunan menyewa banyak kamar namun dalam suasana klasik, letak uniknya tidak hanya pada bangunan saja tapi juga luasnya halaman dipenuhi berbagai macam tumbuhan cantik."

Setelah berkata seperti itu Brian berlalu masuk duluan. Mudah untuk menebak dia tidak akan ikut bergabung bersama di ruang keluarga melainkan langsung menuju kamarnya di lantai dua. Hanya Brian masih tinggal bersama kedua orang tua mereka dan juga Brian menjadi satu-satunya paling berani menentang sikap kedua orang tua mereka bahkan sejak dulu. Walau terlihat menyebalkan dengan senyum selalu diperlihatkan namun sebagai anak pertama, dirinya tentu saja menyayangi saudaranya itu dan selalu ingin terbaik untuk Brian maupun Jared.

♡♡♡♡

"Hai,"

Sapaan itu membuat dirinya tersadar dari rasa kaget. Mengerjapkan mata lalu merasakan kedua pipinya memanas menjadi salah tingkah dan berusaha mengendalikan diri.

Sebuah sapaan dari pertemuan pertama setelah beberapa tahun lamanya. Apakah ini bagian dari mimpi indahnya? Jika iya dirinya berharap tidak ingin bangun dengan cepat. Berharap alarm ponselnya tidak membangunkan dia dari mimpi indah ini.

Tapi jika ini mimpi kenapa terasa nyata? Segera mencubit pergelangan tangan kirinya dan spontan meringis sakit menyadari ini bukan mimpi dia tersenyum senang.

"Bukan mimpi! Ini adalah nyata! Sungguh nyata!"

"Apa?"

"Huh? Oh! Bu — ehem!" Responnya lalu mengatur napas karena kegirangan. Berusaha fokus kembali dan setelah dapat mengendalikan diri walau sedikit, "Ma, mau pesan apa?" Tanyanya gugup.

"Lama tidak bertemu kamu apa kabar, Rean?"

Dia masih mengingatku! Batinnya menjerit senang. Hampir saja meloncat kegirangan juga mengeluarkan teriakan kencang.

"Baik! A, aku baik! Ka, kamu juga bagaimana kabarnya Jared?"

"Baik."

Dia tidak berubah tetap sama seperti Jared pernah dia cintai dulu. Lalu apa arti dari debaran kencang ini? Apakah perasaan itu masih terasa sama walau ini adalah pertemuan pertama mereka lagi?

"Pesan cold brew, satu."

Berusaha mengendalikan diri namun tidak bisa menyembunyikan senyum senang. Dia mulai fokus pada mesin kasir mengerti jantungnya semakin berdebar kencang saat menatap sejenak mata itu untuk meraih kartu disodorkan. Jared semakin tampan dari terakhir kali dia lihat karena kehadiran pria itu di sini berhasil menghilangkan sejenak beban pikiran dia rasakan.

Mengembalikan kartu dan memintanya menunggu sebentar dia mengerjakan semua dengan cepat bersama perasaan senang. Setelah selesai memberikan satu gelas kopi itu dan ketika tangan tersebut meraihnya, dia semakin tersenyum lebar sangat mengerti dirinya terlalu senang sekarang.

"Sudah berapa lama kerja di sini?"

"I, iya?"

"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" Tanyanya mengulang lagi perkataan itu.

"Du, dua bulan."

Melihat respon mengangguk dan pria itu berlalu pergi. Seakan tidak rela pria itu pergi begitu saja tanpa sadar dirinya berlari mendekat. Dan di luar dugaan menghadang langkah kaki tersebut sehingga raut wajah bingung itu menatapnya. Namun beberapa detik kemudian dirinya menyadari kebodohannya sendiri.

"Ma, maaf aku —" Ucapnya tidak bisa melanjutkan perkataannya sendiri. Dan dengan rasa malu ingin berlalu pergi namun tanpa dia perkirakan tangannya diraih. Menoleh menatap wajah tampan itu bersama jantungnya lagi berdebar kencang.

"Jika tahu kamu kerja di sini, maka aku tidak akan pernah melewatkan kafe ini, sejak hari pertama dibuka dua bulan lalu, Rean Neona."

♡♡♡♡

♡♡♡♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Adaire Niels Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang