Kelas akhir yang melelahkan. Evan berjalan gontai keluar dari ruang ujiannya. Cowok itu hanya menggeleng lesu tat kala Ethan menanyakan keadaannya.
"Van!" tegur Ethan.
Evan menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang dekat taman sekolah. Kepalanya dibuat pening oleh soal matematika. Sungguh, cowok itu benci materi hitung-hitungan!
"Belajar makanya, jangan main ps mulu," nasihat Ethan.
"Percuma! Gak ada yang masuk di otak gue kalau udah itung-itungan," balas Evan.
Ethan hanya terkekeh kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jadinya, lo mau kuliah ambil jurusan apa, Van?" tanyanya kemudian.
"Apa aja, asal jangan ada hitung-hitungan."
"Psikolog?"
"Ogah! Itu masih ada hitung-hitungannya ya! Lagian gue sekolah tinggi-tinggi buat jadi orang sukses, bukan cenayang." ingin rasanya Ethan pukul kepala saudara kembarnya tersebut. Meski ia tahu kalau Evan hanya bercanda namun, terkadang Ethan juga lelah akan tingkahnya.
"Emang lo gak cocok jadi psikolog, lebih cocok jadi pasiennya," cetus Ethan.
"Sembarangan!" sahut Evan.
"Emang cita-cita lo tuh apa sih, sebenernya?"
"Jadi suaminya Umaiza," jawab Evan dengan bisikan. Sialnya, Ethan masih bisa mendengar.
"Van, lo tau kan-"
"Iya-iya, gue tahu." Evan memotong cepat. Malas mendengar ceramah Ethan untuk yang ke sekian, setelah saudaranya itu mengetahui apa yang ia simpan selama ini.
"Than, emang sesalah itu, ya?"
Ethan mengerutkan dahinya. "Apa?"
"Perasaan gue ke dia." nafas Evan berhembus berat. "Kalau emang Tuhan gak merestui gue sama dia, kenapa perasaan ini harus ada?"
Dengan senyuman kecil, Ethan duduk di atas rerumputan, punggungnya bersandar pada kursi yang ditiduri Evan. "Hati dan perasaan kita memang Tuhan yang menciptakan, tapi kita sendiri yang menentukan kepada siapa hati ini akan kita berikan. Kita sendiri yang menentukan rasa apa yang kita berikan kepada orang-orang di sekitar kita. Contohnya ya gue sama lo, keyakinan kita berbeda, tapi rasa sayang itu ada. Karena kita sendiri yang menentukan, kepada siapa rasa sayang itu akan kita berikan. Faham 'kan, maksud gue?"
Evan tercenung. Logikanya memang menyetujui namun, hatinya tidak. "Gue gak pernah berencana untuk jatuh cinta sama dia, Than."
Gantian Ethan yang tercenung. Benar juga, memberi rasa dan jatuh hati---tanpa kita sadari---adalah dua hal yang berbeda. Memberi atas kemauan, jatuh atas ketidaksengajaan.
"Mungkin itu yang dinamakan takdir."
Evan mendengkus panjang. "Jadi menurut lo, gue harus apa?"
"Utarakan. Kalau memang tidak bisa dilanjutkan, ya udah tinggalkan. Hati lo berhak menentukan siapa orang yang pantas diperjuangkan. Begitupun juga dengan Raya, dia berhak menentukan perjuangan siapa yang akan dia nantikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iman Yang Berbeda
Espiritual(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!!) ====== Bagaimana bisa kita saling mendoa'kan, jika menyebut Tuhan saja dengan nama yang berbeda? Bagaimana bisa aku dan kamu saling menyempurnakan, jika iman yang dimiliki saja tak sama? Karena pada dasarnya, tida...