Evan langsung pulang ke Jakarta saat mendapat kabar bahwa kakak perempuannya dilarikan ke rumah sakit. Maka, di sinilah cowok itu sekarang, di depan ruang bersalin yang mana terdapat Evellyin di dalamnya, sedang berjuang melahirkan anak pertamanya.
Evan menghela napas gusar sejak tadi, hal itu tentu saja disadari Ethan yang duduk bersisian dengannya.
"Lo marah?" tanya Ethan pelan.
Tersenyum kecut, Evan tahu kemana arah pembicaraan kembarannya tersebut. Jujur saja, selain mengkhawatirkan Evellyin, pikirannya juga terbagi untuk mencerna fakta mengejutkan yang baru saja dirinya ketahui.
Evan menoleh, menaikan sebelah alisnya singkat sebelum menatap ke arah depan lagi. "Ada yang pernah bilang sama gue, hidup adalah tentang perbedaan, pilihan, dan keyakinan. Ada begitu banyak perbedaan yang akan kita temui, lalu kita diharuskan untuk memilih, kemudian meyakini apa yang kita pilih. Semua orang punya hak yang sama untuk hal itu." ia menghela nafas sebagai jeda. "Gue gak marah Kak Eve mualaf, sama sekali enggak. Gue justru iri sama dia karena dia udah berhasil menentukan pilihannya. Sedangkan gue? Gue udah lama goyah, tapi gue belum bisa menentukan pilihan untuk itu."
Terkejut? Sama, Evan juga. Ketika dia datang dan mendapati Ethan sedang melantunkan murotal Qur'an di samping kakak-nya, Evan sempat terdiam. Di tambah sebuah tasbih yang perempuan itu genggam membuatnya semakin tak karuan.
Evan tidak marah, sungguh. Akan tetapi, dia bingung, rasanya seperti ada sesuatu yang menyesakkan di dada. Terlebih, tat kala ia mengetahui bahwa kedua orangtua dan kakak iparnya juga melakukan hal yang sama. Mereka semua mualaf, tanpa mengikut sertakan Evan.
Bukan tanpa alasan, Eza faham betul dengan putranya tersebut. Evan belum siap, salah satu putranya itu perlu mengenal Islam terlebih dulu sebelum memutuskan untuk ikut dengan keyakinan mereka yang sekarang. Kalau sudah ditawari sejak awal dan tanpa persiapan, Evan akan gegabah mengikutinya apalagi anak itu sedang jatuh hati pada seorang muslimah. Evan sudah dewasa, dia berhak dan harus sudah bisa menentukan pilihannya sendiri, tanpa ada unsur lain di dalamnya. Apalagi ini perkara keyakinan, bukan hal main-main.
Evan tersenyum getir. "Hidup gue rasanya hampa, Than. Gue malu buat nyembah Yesus lagi karena bisa-bisanya gue goyah sama keyakinan gue sendiri. Di sisi lain, gue belum bisa memilih arah lain karena gue masih buta untuk hal itu. Seperti yang pernah lo bilang ke gue, gue gak boleh menjadikan seorang manusia sabagai alasan. Meskipun kenyataannya, gue goyah semenjak gue kenal sama Umaiza."
Kehampaan seorang Evander Wiraguna memang tampak jelas. Ethan yang bingung harus berbuat apa memilih menepuk-nepuk pundak kembarannya tersebut. Bukan saatnya ia menasihati atau menghakimi apapun yang sedang dialami Evan.
"Gue dari tadi diem, Than. Mau doa aja gue bingung, Tuhan masih mau denger doa gue atau enggak, ya? Gue mau doa sama Allah, tapi gue juga bukan dikategorikan hamba-Nya. Gue kalau ada masalah harus lari kemana, Than? Gue bingung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iman Yang Berbeda
Spiritual(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!!) ====== Bagaimana bisa kita saling mendoa'kan, jika menyebut Tuhan saja dengan nama yang berbeda? Bagaimana bisa aku dan kamu saling menyempurnakan, jika iman yang dimiliki saja tak sama? Karena pada dasarnya, tida...