Selesai dengan kuliah paginya, Evan memilih nongkrong sebentar di sebuah cafe yang sudah menjadi favorite-nya semenjak ia tinggal di Bandung. Evan bukannya tidak memiliki teman, hanya saja di beberapa kesempatan ia lebih suka sendiri, menikmati secangkir matcha ditemani laptop yang menyala. Agak aneh memang mengingat laki-laki itu dulunya bisa dibilang memiliki vibes badboy.
Kalau kata orang-orang, Evan dan Ethan itu good boy berkedok badboy.
"Gak ngampus, Van?" pertanyaan dari barista sekaligus pemilik cafe yang dikenal dengan nama Galih itu dibalas Evan dengan gelengan singkat.
"Baru balik ini, kelas siang masih jam dua-an, dosen gue sering ngaret."
Galih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lo sendiri mulu, bawa gandengan kek."
Evan yang tadinya fokus pada layar laptop kini sudah beralih menatap Galih. "Kan lo sendiri yang bilang kalau ke sini gak usah rame-rame."
Yang baru saja Evan katakan itu tidak mengada-ada. Galih memang manusia paling aneh yang ia kenal selama hidupnya. Si barista itu tidak suka kalau cafe-nya rame, pusing ngelayanin pelanggan katanya. Evan sudah menyarankan untuk menambah karyawan lagi, tapi Galih menolak. Laki-laki yang selisih umurnya tiga tahun di atas Evan itu mendirikan cafe bukan semata-semata untuk mencari uang namun, Senja Cafe ini dijadikannya tempat istirahat. Galih hanya mewujudkan cafe impiannya, ia mengutamakan kenyamanan juga ketenangan, sesuai dengan yang ia butuhkan. Itulah mengapa Galih tak terlalu suka jika cafe-nya ramai pelanggan. Hanya ada beberapa pelanggan tetap yang sering mampir ke sini.
Saking tidak ramainya Senja Cafe, Galih bisa mengenal bahkan berteman baik dengan pelanggannya, termasuk Evan.
Evan akui kalau Senja Cafe memang tempat yang strategis untuk menenangkan diri. Sisi kiri kanannya terbuat dari beton, sedangkan bagian depan dan belakang adalah dinding kaca. Di pagi hari kita bisa melihat sunrise dari bagian depan cafe, sedangkan sore harinya kita akan disuguhkan langit senja dari arah belakang cafe. Benar-benar cafe yang aesthetic, kalau kata anak zaman sekarang.
"Nah, ketauan kan kalau gandengan lo banyak? Saking banyaknya sampe bingung mau bawa yang mana." tudingan Galih dibalas Evan dengan delikan malas.
"Bodo amat, Bang!"
Tawa Galih terdengar bersamaan dengan dengan dentingan lonceng yang menandakan pintu cafe baru saja dibuka. Evan hanya melirik sekilas, lalu fokus pada layar laptop-nya lagi.
"Hai, Raya! Udah lama nih gak mampir. Kemana aja?"
Mendengar nama familier itu disebutkan, Evan reflek menolehkan kepalanya. Ditatapnya dalam punggung gadis bergamis moca yang duduk membelakanginya.
"Lagi sibuk sama organisasi di kampus, Bang."
Suara itu ..., telinga Evan mengenalnya dengan baik, tidak salah lagi, dia memang benar-benar gadis yang tengah berusaha dirinya lupakan sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iman Yang Berbeda
Spiritual(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!!) ====== Bagaimana bisa kita saling mendoa'kan, jika menyebut Tuhan saja dengan nama yang berbeda? Bagaimana bisa aku dan kamu saling menyempurnakan, jika iman yang dimiliki saja tak sama? Karena pada dasarnya, tida...