-08. Takdir Semesta

1.6K 273 38
                                    

Setelah pertemuan pertama, tentu saja Evan tak akan menyia-nyiakan kemungkinan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akan terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pertemuan pertama, tentu saja Evan tak akan menyia-nyiakan kemungkinan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akan terjadi. Cowok itu sekarang jadi lebih sering nongkrong di Senja Cafe, bahkan mengerjakan tugas pun di sana. Galih sampai bingung dengan kelakuan pelanggannya satu itu.

"Minggu nih, gak ke gereja kamu teh?" tanya Galih saat melihat Evan baru saja memasuki cafe.

"Abis ini mau ke gereja, Bang," jawab Evan seadanya.

"Lah, terus? Ngapain malah mampir ke sini dulu?"

Evan berdecak dengan kecerewetan barista tersebut. Galih itu seorang muslim, tapi dia tak pernah absen mengingatkan jadwal ibadah Evan setiap minggunya.

"Umaiza tadi ke sini gak?" tanya Evan mengalihkan pembicaraan.

Bukannya langsung menjawab, Galih justru menatapnya bingung. "Umaiza teh saha?"

[Umaiza itu siapa?]

Evan meringis kecil. "Raya maksud gue, Bang," koreksinya.

"Ouh, Neng Raya. Belom liat sih gue pagi ini. Paling datengnya sorean," jawab Galih. Matanya menatap penuh selidik pada Evan. "Aya naon nyariin Raya?" tanyanya kemudian.

"Bahasa Indo, Bang. Gak ngerti elah," protes Evan.

Galih tergelak, dia lupa kalau Evan belum mengerti bahasa Sunda, meskipun sudah hampir satu semester kuliah dia berada di Bandung. "Ada apa nyariin Raya?" ia mengulang tanya.

"Gak papa, sih. Pengen tau aja."

Sambil meracik minuman pesanan Evan, Galih kembali melontarkan pertanyaan. "Bukannya karena lo suka sama dia?"

Evan bungkam. Hal itu tentu saja membuat Galih reflek menoleh padanya. "Van, jangan ngada-ngada lo!" serunya penuh peringatan.

Evan hanya membalas dengan kekehan kecil. Dibilang tidak pun, dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Jadi, biarlah semesta tahu kalau ia memang sudah terjebak pada rasa yang tak seharusnya ada.

"Manusia emang paling hobi nyiptain rasa sakit sendiri." Galih menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Jadi, gimana? Raya tahu kalau lo suka sama dia?" tanyanya kemudian.

Evan mengangguk. "Gue udah confess dari lama."

"Ditolak?"

"Ya menurut lo aja." Evan mengerlingkan mata malas. Sudah pasti jawabannya ditolak, kenapa juga Galih harus bertanya. Kan dia jadi flashback sama kejadian confess setelah acara promnight waktu itu.

"Turut prihatin gue sama lo. Kenapa lo gak cari yang se-iman aja, sih? Cici-cici Indo pada bening-bening, masa lo gak tertarik?" canda Galih.

"Gue juga gak tahu. Dari awal gue kenal Raya, rasanya kayak beda aja. Gue udah suka dia dari awal masuk SMA. Lucunya, selama ini gue gak pernah berani deket sama cewek mana pun karena rasanya kayak lagi ngehianatin dia, padahal dia tahu gue nafas aja baru satu tahun terakhir ini." Evan tidak bohong. Sejak mengenal seorang Raya Umaiza Farwah, ia seolah dibuat mati kutu olehnya. Evan selalu menjadikan Raya pertimbangan tiap kali dirinya hendak melakukan apa saja.

Iman Yang BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang