Satu tahun setelah kepergian Raya, Evan masih berdiri di tempat yang sama dengan perasaannya. Hanya saja, kini laki-laki itu sedang berjuang memantaskan diri. Sekalipun, suatu saat nanti ternyata bukan dirinya yang akan menjadi pendamping sang gadis, maka setidaknya Raya pernah memberikan pengaruh yang cukup besar untuk hidupnya.
Dari dalam Senja Cafe, Evan menatap semburat jingga yang terhampar indah di langit sore ini. Bibirnya mencetak senyum tipis, sebelum kemudian beranjak dari sana bersamaan dengan suara azan yang berkumandang.
"Bang, gue shalat dulu, ya. Barang-barang gue tinggal."
Laki-laki ber-apron khas Senja Cafe yang sedang sibuk di balik meja barista itu mengacungkan jempolnya. "Aman! Abis itu gantian jaga, ya," ujar Galih dengan cengiran lebarnya.
Evan memutar bola matanya malas namun, tak ayal ia menganggukkan kepala juga.
Beberapa bulan yang lalu, Evan memang sengaja minta diajari untuk meracik menu-menu minuman di Senja Cafe pada Galih. Sebagai gantinya, setelah itu ia kerap kali diminta gantian menjadi barista oleh si pemilik Cafe tersebut jika dirinya sedang kebetulan tidak memiliki kesibukan. Evan tidak keberatan, dia tulus membantu Galih karena si barista keras kepala itu hingga kini masih belum mau juga merekrut karyawan di coffeshop-nya.
Selesai shalat magrib berjama'ah di masjid terdekat, Evan menyempatkan diri untuk mengaji.
Kabar baik untuk kalian ketahui, bahwa Evan sekarang sudah lancar mengaji. Laki-laki itu bahkan berniat memulai hafalan Qur'an. Setelah mualaf sejak satu tahun lalu, Evan memang memutuskan untuk belajar di pesantren Al-Ikhlas. Dia tidak hanya belajar membaca Al-Qur'an dan shalat, akan tetapi mempelajari ilmu agama Islam lebih dalam lagi. Dan entah kenapa, harus membagi waktu dengan kesibukan kuliah, Evan merasa sama sekali tidak kerepotan. Sang Pencipta seolah memberi kemudahan dalam langkahnya untuk semakin mengenal Tuhan-nya.
Selesai dengan ritual ibadahnya, Evan kembali ke cafe untuk menggantikan Galih yang hendak shalat juga. Laki-laki itu tidak bisa meninggalkan cafe begitu saja sebab masih ada beberapa pelanggan yang mengantre.
"Ini kenapa pelanggan makin lama makin rame, sih?"
Evan hanya terkekeh mendengar dumelan Galih disela aktivitasnya membuka apron. Ya, entah bagaimana ceritanya Senja Cafe sekarang jadi cukup ramai dari sebelum-sebelumnya. Evan jadi penasaran akan sejauh mana Galih bertahan tanpa karyawan.
"Saran dari gue masih sama, sih. Lo gak bisa andelin gue terus juga 'kan? Tugas kuliah gue banyak, gue ada jadwal di pesantren, gak bisa tiap hari ke sini," tutur Evan.
Galih hanya menghela napas panjang kemudian segera mengambil langkah cepat menuju masjid, tidak mau kalau sampai ia shalat di akhir waktu.
Selepas kepergian Galih, Evan dengan cekatan meracik minuman pesanan para pelanggan. Untung saja saat ia kembali dari masjid, yang mengantre hanya tiga orang lagi, jadi dia tidak terlalu kerepotan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iman Yang Berbeda
Spiritual(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!!) ====== Bagaimana bisa kita saling mendoa'kan, jika menyebut Tuhan saja dengan nama yang berbeda? Bagaimana bisa aku dan kamu saling menyempurnakan, jika iman yang dimiliki saja tak sama? Karena pada dasarnya, tida...