Ada banyak hal yang tidak bisa Evan ubah dalam hidupnya. Sekuat apapun ia berusaha, nyatanya takdir dari Sang Pencipta adalah pemenangnya. Andai saja setiap manusia diizinkan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, Evan ingin menghapus bagian ia mencintai di tengah perbedaan yang sedang dialaminya sekarang.
Dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa ia harus jatuh cinta pada sosok yang nyaris tak mungkin bisa dirinya genggam?
Di tengah renungan, Evan mengingat kembali perbincangannya dengan Raya malam itu. Malam terakhir dia bisa melihatnya, karena sudah empat bulan berjalan sejak saat itu, tak pernah Evan temui lagi sosok Raya di dalam hari-harinya.
"Umaiza, maaf kalau saya lancang. Boleh saya bertanya sesuatu?" kala itu, untuk pertama kalinya salama ia hidup, Evan bisa berbicara langsung dengan seorang Raya Umaiza Farwah.
"Umaiza, bagaimana kalau saya bilang, saya mencintaimu?" butuh keberanian yang besar untuk mengungkapkannya. Evan hanya sedang mencari peruntungan pada kecilnya kemungkinan.
Raya menunjukkan ekspresi terkejutnya. Dia tergugu dengan jemari menggenggam erat kantong kresek berisi cemilan yang diberikan Evan padanya.
"Aku harus kasih jawaban gimana?" gadis itu justru balik bertanya. Kentara sekali dia bingung ingin membalas seperti apa.
Evan tersenyum lembut, berusaha menundukkan pandangannya, meskipun keinginan untuk terus menatap wajah cantik gadis di hadapannya begitu besar.
"Saya hanya ingin tau, apakah saya diizinkan untuk berjuang atau justru sebaliknya?" Evan mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali menatap ke ujung sepatu pantofel yang ia kenakan juga sendal berbulu milik Raya. Jarak mereka sedekat ini, tapi kenapa Evan masih merasa begitu jauh dengan gadis itu? Begitu jauh hingga tanpa sadar dadanya berdenyut nyeri.
Sudah sedalam itu kah? Bagaimana bisa?
"Siapapun boleh memperjuangkan apa yang dia inginkan. Silakan jika kamu ingin berjuang, tapi maaf ..., aku tidak bisa menjanjikan apapun untuk hasilnya." balasan Raya cukup untuk membuat Evan mengangguk faham. Ya, pada akhirnya, keputusan untuk lanjut atau berhenti sampai di sini tetap berada di tangannya. Tapi, setidaknya Evan lega karena sudah berani untuk mengungkapkannya.
"Masih ada yang mau dibicarain? Kalau emang gak ada, aku boleh masuk kamar lagi?" tanya Raya dengan sopan dan kelembutan nada suaranya yang khas.
Kepala Evan menggeleng namun, laki-laki itu kembali bersuara ketika Raya hendak membalikan tubuhnya.
"Umaiza, bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan balasan atas rasa yang saya punya?"
Ada jeda beberapa saat, Evan bisa melihat kalau Raya mematung di tempatnya. Gadis itu lalu mendongak, tersenyum lembut sebelum memberikan jawaban. "Mintalah hatiku pada pemilik yang sesungguhnya, karena aku hanya akan mencintai apa yang Dia ridhoi dan kehendaki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iman Yang Berbeda
Spiritual(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!!) ====== Bagaimana bisa kita saling mendoa'kan, jika menyebut Tuhan saja dengan nama yang berbeda? Bagaimana bisa aku dan kamu saling menyempurnakan, jika iman yang dimiliki saja tak sama? Karena pada dasarnya, tida...