Katamu hujan itu kenangan, tapi menurutku hujan itu tak lebih dari kesedihan yang akhirnya tercurah dengan tetesan berlinang. -Alara Sadrela.
H A P P Y R E A D I N G !
Suara grasak grusuk dari luar mengganggu aktivitas tidur cantik Alara, dia bangkit, melihat ke ranjang, Adira sudah tidak ada, artinya waktunya ia pindah.
Belum lama ia masuk ke alam mimpi, seseorang menarik selimutnya. Alara mendesis kesal.
"Ih, diem!" racaunya kesal.
"Bangun! Diluar ada Papa!"
Sontak Alara langsung bangun, ia menatap Adira cemas, takut Adira melaporkan masalah pecahnya bedak. Pandangan Alara beralih menatap pintu putih yang tertutup.
"Papa?" gumamnya pelan. Jelas sekali ada raut ketakutan diwajah bantalnya itu.
"Buruan bangun, udah siang juga!" Adira beralih membawa tas selempang-nya, memasukkan alat-alat yang biasa gadis itu pergunakan.
"Papa mau ketemu aku?" tanya Alara masih memperhatikan aktivitas Adira.
Adira menghentikan aktivitasnya, menoleh pada Alara lalu menggeleng. "Papa ngajak lunch bareng, gue, Mama, sama Iyan."
"Aku?" tanya Alara merasa namanya tidak disebut.
Adira tertawa remeh. "Beres-beres rumah lah, pede banget diajak lunch bareng. Oh iya, kita juga mau ke Mall dulu, jadi pulangnya agak maleman. Terus kata Mama, lo kalau mau makan masak aja sendiri, bahan-bahannya ada di kulkas. Bye, jangan iri yah."
Adira menutup pintu kencang membuat Alara terlonjak kaget. Segera Alara bangkit, sedikit membuka pintu kamarnya agar bisa melihat Sang Papa.
Entah sudah berapa lama ia jarang sekali melihat Papanya ada di rumah, terakhir kali sejak kakaknya pindah ke rumah ini. Kendati pun harus seperti yang dilakukan sekarang, mengintip di balik pintu berharap tidak ketahuan. Saat hari jumat itu pun Papa hanya pulang sebentar menemui Mama dan kedua kakak kembarnya tanpa menanyakan Alara yang saat itu tengah tidur siang.
Alara berlari ke jendela, melihat kepergian keluarganya. Mereka layaknya keluarga bahagia tanpa dirinya. Mendadak matanya memanas, Alara langsung mengibaskan tangan pada matanya.
"Please jangan nangis, jangan nangis," lirih Alara.
Namun air mata turun membasahi pipinya, lama-lama makin deras. Alara tidak berniat menghentikan, hatinya sakit sekali, ia hidup tetapi seolah dianggap mati. Gadis itu meringkuk disudut jendela, memeluk lututnya dan menangis deras di sana.
Mengapa harus semenyakitkan ini, berada di rumah sendiri tapi terasa asing, berada di antara keluarga namun tidak di acuhkan. Alara benci mengakui ini.
Tiba-tiba suara bell berbunyi dari depan. Alara cepat-cepat menghapus air matanya, meninggalkan sembab di manik hitam itu. Alara tidak peduli, anggap saja karena terlalu lama tidur.
Ketika pintu terbuka, mendapati Sivanya yang memeluk helm warna biru. Alara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ngapain ke sini?"
Sivanya melotot, hendak memukul Alara menggunakan helm di pelukannya namun segera Alara cegah, bisa-bisa ia geger otak.
"Anjir lo, Al, gue udah telpon puluhan kali gak dijawab, chat juga gak dibales. Lo lagi ngapain sih?" Sivanya mengikuti Alara di belakang. Gadis itu membawa Sivanya ke meja makan yang masih satu ruangan dengan dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadrela'S || Winter ft Jaemin
Novela JuvenilSeandainya Alara diberi pilihan walau pilihannya antara mati tragis atau hidup tragis. Alara akan dengan yakin memilih mati dengan tragis. Biarlah, setidaknya ia hanya merasakan sakit saat kematiannya saja. Namun, sayangnya Alara harus dihadapkan ta...