10. Awal Perjanjian

88 21 0
                                    

H A P P Y  R E A D I N G !


"Al, ada surat dari kak Idnan."

Rinai menyerahkan selembar kertas yang dilipat dua itu pada Alara. Titipan dari Idnan.

Alara memandang kertas putih itu lama, dengan ragu ia menerima kertas surat itu lalu mulai membacanya.

Maaf atas kejadian waktu itu. Pulang sekolah gue tunggu di parkiran.

-Idnan

Alara mendengkus kasar, ia tidak akan mau menemui kakak kelasnya itu. Kejadian malam itu membuat Alara tidak bisa untuk tertidur tenang beberapa hari ini. Alara meremas kertas itu dengan kesal.

"Lo ada masalah sama kak Idnan? Oh iya, gimana ngedatenya kemarin? Pasti lancar, 'kan? Iya lah buktinya sampe surat-suratan gini. Uwu banget sih." cerocos Rinai sembari menaik turunkan alisnya menggoda Alara. Tadi saat di kantin Idnan tiba-tiba menipkan surat untuk Alara. Entah Idnan tahu dari mana jika Rinai adalah sahabat Alara.

"Kak Idnan itu jutek banget yah, waktu titip surat ini aja gak senyum sama sekali. Kaku banget kayak robot. Eh bukan kaku deh, tapi tegang, kayak yang mau disunat lagi." Rinai terus berceloteh sembari terkekeh akan ucapannya sendiri. Sementara Alara yang diajak berbicara malah terlihat fokus pada dunianya.

"Al, lo dengerin gue gak sih?" tanya Rinai merasa Alara tidak merespon ucapannya.

Alara mengusap wajahnya prustasi. "Gue pusing Nai, bisa gak lo jangan banyak omong dulu."

Rinai menutup mulutnya. "Sori, iya deh gue gak akan ngomong," ucap Rinai.

Alara memutar kedua bola matanya malas, dia butuh ketenangan dan kedamaian. Sejak kejadian malam itu Alara tidak bisa berpikir tenang, kepalanya dipenuhi segala prasangka dan ketakutan. Bahkan hanya mengingatnya saja Alara mendadak cemas.

"Eh iya Al, foto masa kecil lo lucu banget, lo gak pernah bilang kalau lo pernah kecil dulu. Tapi asli deh, lo gemesin banget jadi pengen nyubit!" Belum beberapa detik Alara menyuruh Rinai untuk diam, gadis itu sudah mencubiti pipi Alara  membuat si empunya kesal bukan main.

"Rinaiii bisa diem gak! Pipi gue sakit ini," rengek Alara mengelus pipinya yang sudah memerah. "Lagian lo pikir gue gak kecil dulu, gitu? Langsung segede ini aja? Gila!"

Rinai nyengir kuda tanpa dosa. Alara menggelengkan kepalanya heran, Rinai itu tidak pernah berubah dari pertama kali ia mengenal gadis blasteran itu. Cerewet. Saat ini Alara berharap Sivanya dan Sania segera datang dan mengajak ngobrol Rinai agar tidak merecoki Alara kali ini saja.

Dan apa yang tadi dikatakan Rinai, foto masa kecilnya? Kenapa tiba-tiba Rinai mengungkit foto kecilnya?

"Foto gue? Lo liat dimana?" tanya Alara mengernyit keheranan.

"Di mading, seantero Nusantara kayaknya udah liat deh, wajar sih 'kan yang foto kak Nadza. Dari kapan sih lo deket sama kak Nadza? Kok gue gak tau yah?" tanya Rinai sama herannya.

Alara membola, ia mengerti arah pembicaraan Rinai. Tanpa menghiraukan pertanyaan Rinai, segera saja gadis itu beringsut dari tempat duduknya, dia harus menemui Nadza saat ini juga.

"Al, lo sama Kak Nadza sahabat kecil yah? Kayak akrab banget gitu deh, kak Nadza sampe niat banget nempel foto lo di mading. Tapi kenapa lo gak pernah cerita sih? Jahat banget lo!" Suara itu milik Rinai yang setia mengikutinya. Sahabatnya itu penasaran yang akan dilakukan Alara.

Sadrela'S || Winter ft JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang