Prolog

32 1 0
                                    

Tangisan pilu terdengar di ruangan besar itu, dimana seorang gadis terbaring kaku di brankar dan alat penyokong hidup terpasang disekujur tubuhnya. Di sebelahnya berdiri seseorang sembari memegang tangan si pasien.

"Ini bales dendam terbaik lo?" Ucapnya serak.

Tak ada yang membalas, hanya suara Bedside Monitor yang terus bersuara.

"Lo goblok milih jalan ini. Dunia masih berjalan, ga ada yang berubah" dia diam sebentar, lalu melanjutkan "ohh gue yang goblok, ngebiarin lo ngelakuin hal gila kaya gini" ujarnya menujukan muka menahan amarah.

"Dia milih jalan damai Cha" ujar seseorang itu.

"Bokap lo milih damai sama pelaku yang bikin lo meregang nyawa" lanjutnya. Sepi yang membalas, ia menangis kembali.

"Gue minta maaf Cha." Tangisnya semakin membesar. "Jangan tinggalin gue" dia menggenggam tangan pasien berharap si pasien dapat merasakannya.

Tiiiiit

Bunyi yang tak ingin ia dengar tiba tiba memcahkan suasana. Garis lurus di monitor membuat ia pucat. Segera ia berlari keluar ruangan mencari dokter.

"Dokter!! Dokter! Suster! Ughh siapapun tolong ade gue" teriaknya. Seorang Suster yang sedang berjaga langsung memanggil dokter dan berlari ke ruangan pasien. Ia mengikuti Dokter dan Suster itu tetapi ia di hentikan di pintu masuk oleh si Suster.

"Mohon tunggu diluar" tahan si Suster.

"Lo gak usah nahan nahan gue" ia mendorong suster yang menghalangi jalannya. Setelah menyingkirkan perawat itu ia melihat dokter menggunakan Defibrilator. Terlihat garis lurus dimonitor. Tak ada perubahan. Sang Dokter menyerah.

"Waktu kematia-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya Si Dokter terlempar akibat tendangan dia.

"Dia belum mati. Lo gak berhak nyebutin waktu kematiannya" ujarnya. Ia tak terima adik tersayangnya meninggal.

"Nona. Anda melakukan kekerasan pada staf kami. Kami harap anda dapat mengontrol emosi, saya tahu kesedihan anda tapi ini rumah sakit" ujar seseorang yang berada di pintu masuk ruangan. Dokter yang berada dilantai pun segara bangun ia dan perawat yang ada menundukan kepala kepada orang yg berujar itu.

Terlihat tag namanya drs. Ivan D. Pozzi. Dia direktur utama rumah sakit ini.

"Lo bos nya?" Tunjuknya "Anak buah lo ngelakuin kesalahan!" Teriak ia tak terima. Mukanya memerah, tangannya terkepal erat. Ia melihat wajah sedih Direktur. Ia tak mau menerima kenyataan bahwa adiknya telah pergi.

Air matanya terus menetes. "Adik gue masih hidup" suara kecil itu menusuk telinga orang yg ada di ruangan. Terasa perih di suara itu.

"Nona. Saya minta maaf" sesal Dokter, ia dapat merasakan sedih si gadis itu tapi ia tidak dapat melakukan apapun.

Sang gadis masih menangis, ia ingin menyalahkan Dokter itu yang tak dapat mengembalikan adiknya.

Ia kembali menyalahkan dirinya. Ia marah pada semua hal yg menyebabkan adiknya mati.
.
.
.
.

Return GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang