7 - Sembunyi

170 27 3
                                    

Berkat lampu kamar yang mati, (Namakamu) tidak mungkin menempati kamarnya lagi. Dia juga masih trauma dengan suara-suara aneh yang mengganggunya. Jadi ... mungkin, (Namakamu) akan membersihkan kamarnya besok.

"Ada lagi yang lo butuhin?"

(Namakamu) berbalik ke arah Iqbaal yang berdiri di belakangnya. Kemudian matanya melirik bantal dan selimut yang dia genggam. "Kayaknya nggak ada. Lo ... gak apa-apa gak pakai selimut?" tanya (Namakamu).

Bukan keinginan (Namakamu) sebenarnya. Tapi keinginan Iqbaal sendiri untuk menginap. Katanya, biar bisa mengawasi (Namakamu) dengan tenang.

"Bantal aja cukup kok. Gue udah biasa sama kedinginan." Mengingat kamar Iqbaal yang dulunya bekas gudang ... dan Mama Tyas yang tidak rela Iqbaal tidur dengan nyenyak, jadi dia tidak pernah merasakan bagaimana nyamannya tidur dengan selimut tebal. Kecuali dengan kain tipis yang tidak sampai menutupi seluruh kakinya. Tapi ... Iqbaal tidak apa-apa. Sudah biasa.

(Namakamu) pun mengangguk meski jujur saja, merasa sangat tidak enak. Tidak mungkin kan kalau sekarang (Namakamu) pergi ke dapur untuk mengambil gunting? Lalu membagi dua selimutnya agar bisa dipakai dirinya dan Iqbaal. Terlalu memaksa, sekali.

"Lo beneran tinggal sendiri di sini?" Sambil mengekori (Namakamu) yang berjalan ke arah ruang tamu, Iqbaal bertanya.

"Mm ... harusnya sama Kakak. Tapi, Kakak lagi sibuk sama kerjaannya di kantor," jawab (Namakamu). (Namakamu) memandang dua sofa yang terpampang di depannya. Dua sofa itu dibatasi oleh meja kayu berbentuk persegi. Syukurlah. Setidaknya, ada pembatas. "Gue tidur di sini. Lo, di sana." (Namakamu) menunjuk sofa di sebelah kiri. Sofa untuk Iqbaal.

"Ok." Iqbaal berjalan ke sofa tersebut dan menjatuhkan dirinya untuk duduk. "Kakak lo kerja apa?"

"Reporter."

Iqbaal mengangguk-angguk. Kini membenahi posisi bantal, agar dia bisa tidur dengan nyaman. "Kapan ... Kakak lo pulang?"

"Nggak tahu. Dia bilang, tugasnya berat. Butuh berhari-hari nyelesaiinnya." (Namakamu) juga melakukan hal yang sama seperti Iqbaal.

"Kalau orang tua lo?" Iqbaal rasanya sudah menjadi wartawan jadi-jadian. Karena kerjaannya sedari tadi menanyai (Namakamu). Untungnya, (Namakamu) tidak merasa keberatan.

"Ayah dan Mama ada di Bandung. Gue di Jakarta karena Kak Sandra, sekaligus kuliah juga." (Namakamu) harap jawabannya cukup jelas. "Mm, kalau orang tua lo, gimana?" tanya (Namakamu).

Iqbaal tergugu. Orang tuanya? Apakah (Namakamu) ... orang yang layak untuk mengetahui, secuil privasi soal keluarganya? Iqbaal menarik napas sebelum menjawab, "Ayah gue ada di sini, di Jakarta. Kalau Bunda ... udah lama meninggal."

(Namakamu) tampak terkejut mendengar penuturan Iqbaal. "So--sorry ya, gue nggak tahu."

Iqbaal tersenyum. Dia merasa, (Namakamu) perempuan yang baik dan bisa dipercaya. "Gak apa-apa. Lo nggak salah."

"Maaf juga, gara-gara gue ... lo harus ke sini. Gue ganggu banget ya, pasti?" Sedari tadi (Namakamu) ingin mengatakan maaf. Dia tidak bisa tenang kalau belum menyampaikannya langsung pada Iqbaal.

"Nggak perlu minta maaf. Lo nggak gangu (Namakamu)," ujar Iqbaal. Iqbaal merebahkan dirinya. Kakinya terjulur, menumpu pada lengan sofa. "Empuk juga," komentarnya. Memang benar. Lebih empuk daripada tempat tidur Iqbaal sendiri.

(Namakamu) ikut merebahkan dirinya. Berbaring dengan gaya terlentang. Selimutnya ditarik sampai ke dada. "Gue masih kepikiran soal--,"

"Jangan dipikirin." Iqbaal menyela sebelum (Namakamu) selesai berbicara. Lalu memiringkan tubuhnya, agar bisa menghadap (Namakamu). "Yang penting lo ada di sini. Di samping gue."

Scary Voice [IqNam Series]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang