6 - Kemarahan Aldi

193 30 3
                                    

Iqbaal menutup pintu rumah dengan hati-hati. Seluruh tubuhnya masih terasa sakit, dia juga kelelahan setelah berjalan cukup jauh menuju rumah. Alih-alih menghampiri Bastian, Iqbaal akan dengan baik hati menganggap tidak ada yang terjadi padanya. Bastian tidak berbuat apa-apa. Dia akan naik ke atas tangga, ke kamarnya yang berada di atap. Namun baru dua langkah, suara bariton yang terdengar membuat langkah Iqbaal terhenti.

"Iqbaal!"

Iqbaal memutar lehernya. "Ayah." Iqbaal tahu sopan santun, jadi dia memutuskan untuk menghampiri Ayah Heri.

Semakin Iqbaal mendekat, wajah Ayahnya semakin terlihat marah. Iqbaal tersentak begitu rahangnya ditahan sang Ayah. "A ... yah," gumam Iqbaal berusaha memberi sinyal kalau pegangan Ayahnya membuat luka di sekitar wajah Iqbaal terasa sakit.

"Berantem lagi kamu?!" Ayah Heri berdecak, menepis rahang Iqbaal begitu saja. "Mau jadi anak apa kamu, hah?!"

Iqbaal menundukkan kepalanya. "Maaf Ayah."

Ayah Heri memijat pelepisnya. Sambil menyerong beberapa derajat. Lalu, meraih kedua lengan Iqbaal. Memeriksa luka yang lain.

"AKH ...." Iqbaal merintih kesakitan.

"Dia berantem di tempat kuliah Yah. Rebutin cewek."

Ayah menoleh ke arah Bastian yang baru saja datang bersama istrinya--Tyas.

"Ya ampun ... ya ampun ... mau jadi preman kali ya, kamu?" Mama Tyas memegang bahu Iqbaal dengan gerakkan jijik. "Mas ... udah aku bilang, kan? Dia ini cuma bikin kita pusing." Mama Tyas melipat tangannya di depan dada.

Iqbaal yang disudutkan hanya bisa berdiam diri. Tidak mengeluarkan pembelaan apa pun.

"Benar itu, Iqbaal?! Kamu seperti ini karena perempuan?!!!" Suara Ayah Heri semakin keras.

Iqbaal sudah biasa dibentak Ayahnya. Tapi, agar dia bisa tetap tinggal di sini, dia tidak akan menyangkal. Tidak akan melawan meski yang ditanyakan Ayahnya tidaklah benar. "Iya, Ayah. Maaf."

PLAK!

Iqbaal memegangi pipi kanannya yang bisa dipastikan sudah memerah.

Melihat hal itu, Bastian dan Mama Tyas tertawa.

Bastian mengusap lengan Ayahnya. "Yah, jangan terlalu kasar. Biar Bastian yang ajarin Iqbaal supaya nggak berperilaku bodoh cuma gara-gara cewek," ujar Bastian. Bastian melempar senyum miring pada Iqbaal yang kini terkekeh kecil.

"Masih bisa ketawa kamu?!" bentak Mama Tyas.

Ayah Heri menarik istrinya ke sisi tubuh. "Sudah. Biar Iqbaal Mas yang urus. Kamu tidur, ya."

Mama Tyas menurut, dia pergi setelah sebelumnya memelototi Iqbaal.

"Bastian, kamu pergi tidur dan Iqbaal, kalau Ayah tahu kamu berantem lagi ... benahi pakaian kamu, angkat kaki dari rumah ini!"

Mata Iqbaal terbelalak. "Ayah ...."

"Ayah nggak mau punya anak yang bermasalah."

"Ya, Ayah." Iqbaal menyerah.

"Obati luka kamu sebelum tidur." Setelah berkata seperti itu Ayah Heri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menunggu kedua anak laki-lakinya beranjak.

Bastian dan Iqbaal pun berpisah. Keduanya saling bertolak punggung. Tak lama, melangkah bersamaan untuk menuju kamar masing-masing.

***

Jangan lupakan aku, (Namakamu).

(Namakamu) bergerak gelisah dalam tidurnya. Suara yang menyeramkan terus berdenging, memanggil-manggil namanya.

Scary Voice [IqNam Series]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang