17 - Jangan Pergi Iqbaal

204 32 7
                                    

Selama tiga hari Ayah dirawat dan Iqbaal yang menjaga Ayah. Kekhawatiran Ayah terhadap sangkaan Iqbaal semakin kuat karena selama tiga hari itu pula dia tidak menemukan batang hidung Tyas.

Bastian juga tidak muncul menghadap Ayahnya. Setelah kejadian di mana aksi saling pukul bersama Iqbaal, Bastian tidak pernah terlihat lagi.

Hari ini Dokter yang merawat Ayah sudah membolehkan Ayah untuk pulang.

Ayah tidak membawa uang saat itu, tapi ternyata seluruh biaya rumah sakit sudah ditanggung oleh Ayah Salsha--Pak Prasetya.

"Kita pulang ke rumah," ujar Ayah setelah Iqbaal membantunya masuk ke dalam mobil taksi.

Iqbaal menghela napas dia mengangguk meski sebagian dirinya menolak untuk kembali menginjak rumah yang penuh dengan kenangan buruk selama bertahun-tahun itu.

"Ayah butuh sesuatu sebelum kita berangkat? Air atau Roti?" tanya Iqbaal.

Tidak peduli, seacuh apa pun Ayahnya. Ayah, tetaplah orang yang Iqbaal sayangi. Meski jujur, berlaku biasa setelah mengalami perseteruan hebat dengan Ayah bukanlah hal yang mudah.

"Ayah nggak butuh apa-apa. Ayah mau kita cepat sampai di rumah."

Iqbaal terdiam dan tidak lama memilih untuk mengangguk. Mengikuti kemauan Ayahnya. Iqbaal menyebutkan alamat rumah pada supir taksi, setelahnya mobil yang mereka tumpangi mulai berjalan menuju tempat tujuan.

***

Ayla :
Gue ada di perpustakaan. Di rak buku deret kedua.

(Namakamu) membaca ulang pesan dari Ayla sebelum dia memasuki gerbang kampus.

Hari ini tidak ada jam mata kuliah. Namun (Namakamu) tetap ke kampus berkat ceramah Bu Yuni yang menelponnya semalaman.

Perpustakaan Univ memang sudah diperbaiki. Buku-buku juga sudah disusun, namun ada perubahan 'letak buku' yang harus dibenahi. Bu Yuni menginginkan nuansa baru. Benar-benar baru. Agar perpustakaan yang terkenal dengan kesan horror tidak menjadi momok yang menakutkan lagi untuk semua Mahasiswa. Syukur-syukur, kalau akhirnya banyak Mahasiwa yang senang berkunjung ke perpustakaan.

Ayunan kaki (Namakamu) berhenti di depan pintu masuk. Dia pikir, dia terlambat. Memang iya sepertinya. Karena di dalam sudah begitu ramai.

"(Namakamu)!" seru seseorang.

(Namakamu) kenal suaranya, begitu mengendarkan pandangan, dia menemukan sosok Bu Yuni.

Bu Yuni dengan stiletto setinggi 7 cm sedikit berlarian menghampiri (Namakamu). "Kok telat sih, kamu?"

(Namakamu) menyalami tangan Bu Yuni. Tersenyum hangat. "Assalamu'alaikum Bu."

"Wa'alaikumsalam (Namakamu)."

"Maaf ya Bu, saya ... kejebak macet di jalan."

Minggu menjadi ajang berdempet-dempetnya kendaraan di jalan raya. Faktanya begitu. Pantas saja ya, (Namakamu) sempat mendengar kabar kalau Ibu kota akan dipindah oleh pemerintah. Bukan lagi di Jakarta yang padat penduduk, padat kendaraan, dan padat pemukiman.

"Oh iya, (Namakamu). Maaf ya, faktor umur." Bu Yuni menepuk jidatnya. "Kamu langsung datangi Ayla. Dia yang pegang pembagian tugasnya. Ibu mau keluar dulu."

"Lho Ibu mau ke mana?" tanya (Namakamu).

Bu Yuni melenguh, memijat pelipisnya lamat-lamat. "Ibu sudah pusing. Lelah hayatiii."

(Namakamu) tertawa kecil. "Yaudah Bu, selamat beristirahat ya, Bu Yuni."

"Iya. Makasih. Ibu tinggal ya."

Scary Voice [IqNam Series]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang